Berita Jembrana
Pahitnya Hidup Made Profil, Makan Nasi Aking, Putus Sekolah, Kini Jadi Pengusaha Properti Jembrana
Pahitnya hidup Made Profil, makan nasi aking, putus sekolah, kini jadi pengusaha properti Jembrana
Penulis: I Made Ardhiangga Ismayana | Editor: Irma Budiarti
TRIBUN-BALI.COM, JEMBRANA - Pahitnya hidup Made Profil, makan nasi aking, putus sekolah, kini jadi pengusaha properti Jembrana.
I Kadek Pardana atau bisa dipanggil Made Profil merupakan pengusaha sukses di Kabupaten Jembrana, Bali. Bisnis propertinya merambah di wilayah Kabupaten Jembrana.
Sekitar 450 unit rumah atau perumahan bersubsidi dan komersil telah dibangunnya dalam kurun waktu empat tahun terakhir.
Pria kelahiran tahun 1985 ini pun berangkat dari titik terendah dalam memulai bisnisnya.
Made Profil mengatakan, dahulunya dia bukan siapa-siapa. Hanya seorang anak kedua dari dua bersaudara, yang bertransmigrasi ke Kendari, Sulawesi Tenggara.
Baca juga: Profil Aipda Ambarita, Viral Paksa Periksa HP Warga Saat Patroli, Kini Dimutasi
Pahitnya kehidupan sebagai transmigran pun ia alami. Terombang-ambing di sungai Sulawesi yang besar dengan hanya memakan nasi sengauk atau nasi aking pernah ia alami.
Tapi hal itulah yang kemudian membuatnya bangkit, semacam “vaksin” bagi kehidupannya saat ini.
“Dulu saya dari kecil sampai SMP transmigrasi ke Sulawesi. Wah pokoknya berat di sana. Di sana kami sekeluarga dengan bapak ibu dan kakak, membeli tanah. Tapi banyak kendala.
Bahkan sampai pernah harus pindah dan naik kapal motor di sungai berhari-hari. Karena tidak ada makanan, makan sengauk nasi aking itu,” ucapnya, Rabu 27 Oktober 2021 saat ditemui di kantornya.
Made Profil mengaku, setelah dari Sulawesi, ia pun kembali ke Bali. Sekitar kelas 2 SMP. Pada masa SMP kejadian pahit pun ia alami.
Ia harus putus sekolah karena tidak ada biaya. Apalagi dirinya hanya tinggal di kampung yang jauh dari sekolah.
Ketika semua temannya sudah membawa kendaraan bermotor, ia hanya berjalan kaki. Kalau pun ada teman untuk nebeng, paling tidak itu hanya sehari.
Hari berikutnya, ia tidak lagi mendapat tumpangan karena orangtua temannya tidak memperbolehkan.
“Ya mungkin saat itu orangtua teman berpikir bahwa saya tidak memberikan dampak apapun (membelikan bensin).
Atau kalau motor rusak ya gak bisa bantu. Jadi ya ekonomi sangat sulit. Saya putus sekolah waktu SMP,” ungkapnya.
Baca juga: Kisah Pengusaha Martabak Sultan yang Berumur 18 Tahun, Beromzet hingga Rp 100 Juta per Bulan
Usai putus sekolah, sambungnya, ia pun bekerja sebagai asisten tukang. Ia ikut proyek membuat kantor Pengadilan Negeri di kawasan Pusat Pemerintahan (Puspem) Pemkab Jembrana saat ini.
Dari hasil itu, akhirnya dipakai untuk kebutuhan sehari-hari membantu ibu dan membeli alat ukir. Diakuinya, mengukir ialah skill atau keahlian yang dirinya punya.
Akhirnya ia mendalami dengan mengikuti kursus ikut di kawasan Lelateng, juga ikut les mengemudi.
“Saya ketika sudah fasih mengukir dan mengemudi akhirnya pindah ke Badung. Di sana kerja sama orang.
Ya ngukir dan akhirnya ikut sebagai sopir sekitar tahun 2000 sampai 2006-an. Tapi karena kewajiban adat jadi harus pulang.
Dan menikahlah pada 2007. Saat urusan adat tidak bisa dibayar, maka pulang dan bekerja mengukir di kampung sini,” ungkapnya.
Setelah balik ke kampung, ia pun mengaku melayani jasa ukir di rumah. Akan tetapi, ada insting bisnis supaya tidak hanya ukir.
Akhirnya, ada peluang yang dilihatnya dari kunjungan ke Kabupaten Karangasem.
Pada saat itu ada saudaranya menikah, di sana ia melihat bahwa ada bahan baku berupa kayu nangka untuk pembuatan sanggah.
Nah, kebetulan, di Kabupaten Jembrana kayu nangka tidak terlalu laku. Peluang itulah yang akhirnya ia ambil.
Baca juga: Dengan Modal Rp 120 Ribu,Pengusaha Muda Ini Kini Raup Rp 150 Juta per Bulan dari Penjualan Ice Cream
Dari satu gudang ke gudang lain. Dari Kecamatan Pekuatatan hingga ke Melaya, ia kumpulkan kayu nangka dan dijualnya ke Kabupaten Karangasem.
“Saat itulah modal terkumpul. Akhirnya saya membuka usaha mebel. Mebel saya jual ke teman pariwisata yang dulu saya kenal dari jadi sopir.
Dari situlah kemudian, saya ada sekitar tiga sapi, yang kemudian saya barter dengan mesin pemotong kayu.
Akhirnya berkembang menjadi mebel dan pemotong kayu yang sudah diserut dan memiliki nilai lebih.
Saya lebarkan sayap dengan bisnis material dengan membeli truk. Tapi gagal, akhirnya truk saya jual. Akhirnya fokus dari 2008 sampai 2014 di mebel,” paparnya.
Ia menambahkan, setelah mebel berhasil selama enam tahun, kemudian hasrat bisnis kembali muncul.
Ia pun membuka toko bangunan, yang merupakan usaha masih selaras dengan usaha meubel.
Dari usaha toko bangunan itu kemudian berkembang. Sekitar 2014 awal usaha toko dibangunnya.
Di tahun yang sama, pada 2014 akhir, restu alam pun mengantarkannya ke dunia propert. Akhirnya ia mulai dengan membangun rumah milik temannya.
Baca juga: Kisah Arini Buka Bisnis Kelapa Bakar Saat Pandemi di Bali, Raup Keuntungan hingga Rp 1 Juta per Hari
Tapi ada kendala hingga akhirnya pada 2017 titik awal bisnis propertinya berjalan pesat.
Hingga 2021 dari 2017 lalu, sudah 450 unit rumah atau perumahan ia bangun. Belum properti lain berupa vil dan rumah komersil lainnya.
"Dan saat ini juga merambah ke yang lain. Karena dulu saya gagal sekolah.
Saya sekarang ikut memajukan atau berpartisipasi dalam sekolahan SMP yang dijadikan sekolahan SMK.
Saya ingin berkontribusi pada dunia pendidikan. Karena sedih dahulu saya gagal sekolah karena biaya,” bebernya.
(*)