Human Interest Story

Buka Usaha Dupa di Buleleng, Tiya Raup Omzet Rp 200 Juta Per Bulan, Memulai Bisnis Dari Nol

Wanita kelahiran 26 Maret 1994 ini membuka usaha pembuatan dupa bersama suaminya, Made Indra Parmadika (29).

Penulis: Ratu Ayu Astri Desiani | Editor: Noviana Windri
Tribun Bali/Ratu Ayu Astri Desiani
Nyoman Tiya Martini menunjukan dupa hasil pembuatannya, Jumat (4/3) 

 TRIBUN-BALI.COM, SINGARAJA - Nyoman Tiya Martini (28) tidak menyangka jika usaha yang ia mulai dari nol, bisa sukses seperti saat ini.

Wanita asal Banjar Dinas Sambangan, Desa Sambangan, Kecamatan Sukasada, Buleleng ini berhasil meraup omzet hingga Rp 200 juta per bulan, berkat kepandaiannya membaca peluang. 

Wanita kelahiran 26 Maret 1994 ini membuka usaha pembuatan dupa bersama suaminya, Made Indra Parmadika (29).

Menurut Tiya, dupa menjadi kebutuhan sehari-hari umat Hindu di Bali.

Layaknya beras, masyarakat membeli dupa dan menggunakannya setiap hari untuk sembahyang.

Baca juga: KISAH Seorang Ibu di Rusia, Kaget Anaknya Jadi Tawanan Tentara Ukraina dan Dikirim untuk Berperang

Baca juga: Kisah Ayu Mang, Disabilitas Perajut di Jembrana, Tak Ingin Bergantung pada Orang Lain

Baca juga: KISAH Disabilitas di Jembrana Bisnis Rajut 10 Tahun Lamanya, Ayu Mang: Keadaan Membuat Tiang Kuat

Pada 2018 lalu, ia pun mencoba membuka usaha pembuatan dupa.

Tiya menyebut, bisnis ini benar-benar  ia mulai dari nol.

Bukan warisan dari orangtua, maupun mertuanya.

Artinya, modal awal yang digunakan murni dari hasil tabungan Tiya dan suaminya, saat masih berpacaran. 

"Sebelum mulai bisnis dupa ini, saya dengan suami saat masih berpacaran sempat membuka bisnis membuat liquid untuk rokok elektrik. Bisnis liquidnya sebenarnya lancar, cuma kami ingin beralih ke dupa, karena dupa itu sudah menjadi kebutuhan sehari-hari. Tidak menutup kemungkinan kedepannya kami akan melanjutkan juga bisnis liquidnya," katanya.  

Tiya menyebut, pada awal membuka bisnis dupa ini, ia hanya mampu membeli satu unit mesin bekas pencetak dupa.

Ia bersama suami kemudian belajar dari internet serta dari produsen dupa lainnya, lalu memencoba membuat dupa sendiri.

Butuh waktu hingga kurang lebih satu tahun, untuk Tiya melakukan uji coba membuat dupa.

Hingga berkat kerja kerasnya itu, dupa dengan merk Ajeg Bali itu pun kini berhasil terjual di seluruh Bali, bahkan di Sulawesi.

Baca juga: KISAH Arifin Panigoro, Pendiri Medco Grup, Liat Celah Saat Indonesia Oil Boom, Wantimpres Jokowi

Baca juga: Kisah Maret, Pembuat Kerajinan dari Sampah Plastik di Buleleng, Terjual hingga ke Sumatera

Baca juga: Jenderal Dudung Berkaca-kaca Dengar Kisah Sertu Lugas, Anak Yatim Jual Gorengan Lulus Prajurit TNI

Mesin pencetak dupa yang ia miliki kini berjumlah enam unit.

Dengan mempekerjakan 13 orang karyawan, Tiya mampu memproduksi dupa hingga 100 kilogram per hari. 

Dupa yang dibuat memiliki ukuran yang berbeda-beda. Mulai dari ukuran 16 cm, 22 cm, 28 cm dan 32 cm, hingga dupa yang mampu menyala selama dua jam.

Dupa-dupa itu dikemas dalam bentuk pepelan, hingga kemasan kiloan,  dengan nilai jual kisaran Rp 30 ribu hingga Rp 50 ribu. 

Dikatakan Tiya, dupa Ajeg Bali ini berhasil menarik minat masyarakat, lantaran wangi aroma terapi yang dihasilkan lebih tahan lama.

Nyoman Tiya Martini menunjukan dupa hasil pembuatannya, Jumat (4/3)
Nyoman Tiya Martini menunjukan dupa hasil pembuatannya, Jumat (4/3) (Tribun Bali/Ratu Ayu Astri Desiani)

Bila mengenai tangan, abunya juga tidak akan terasa panas.

Nama Ajeg Bali pun dipilih sebagai merk, lantaran seluruh bahan baku yang digunakan berasal dari Bali.

"Saya menggunakan bahan alami, yang bisa diperoleh di Bali. Saya pakai campuran bubuk kayu jati, batok, arang dan aroma bunga. Kalau orang lain, kadang bahannya itu import dari Cina," jelasnya. 

Tiya pun mengaku akan terus mengembangkan usahanya ini, dengan berencana menambah mesin pencetak dupa, serta menambah jumlah karyawannya

Baca juga: Kisah Pelaku Wisata di Nusa Penida Bertahan Saat Pandemi Covid-19, Kembali Budidaya Rumput Laut

Baca juga: Kisah Dalem Dimade Mengungsi ke Guliang Usai Digebuk Gusti Maruti

. Mengingat permintaan dari para pelanggannya kian hari semakin meningkat.

Hal ini juga terlihat dari jumlah masyarakat yang menawarkan diri sebagai reseller.

"Hampir di setiap desa di Buleleng, sudah ada resellernya. Di Denpasar juga ada. Astungkara permintaannya memang cukup banyak," tutupnya. 

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved