Berita Bali
PESAN PSIKIATER Dokter Sri Bagi Pasangan Akan Menikah Dalam Menjaga Anak
Dalam Bincang Tribun Bali, Dokter Sri menyoroti kasus bocah telantar dan aksi kekerasan pada anak. Juga kesiapan pasangan yang akan menikah.
Penulis: Putu Honey Dharma Putri W | Editor: Anak Agung Seri Kusniarti
Lalu mengalami ganggun mental seperti depresi, cemas, dan lain sebagainya.
Ini berpengaruh dari riwayat kekerasan yang didapat anak itu.
Trauma tersebut akan muncul pada saat anak masa akil balik, dan sangat sulit terhapuskan," katanya.
Kasus aksi kekerasan anak, membuat trauma pada anak sehingga kalau mau melakukan apa-apa di rumah maupun di luar anak tidak berani.
"Ia (anak) akan selalu punya pikiran, jangan jangan nanti saya akan mengalami hal yang sama seperti yang ia dapatkan di rumah,” ucapnya.
Tentu saja hal ini membuat posisi sebagai orang tua dilema.
Jika tidak keras kepada anaknya, orang tua khawatir bahwa anak tidak akan punya pendirian.
Namun jika terlalu keras bisa menyebabkan trauma.
Dokter Sri pun menjawab, harus ada komitmen dan komunikasi yang kuat dalam mengasuh anak.
“Pola asuh itu ada bermacam-macam.
Sebenarnya sekarang tergantung kesepakatan kedua orang tua, ketika nanti memiliki anak," katanya.

Seperti apa pola asuh, yang memang akan dilakukan.
Jadi apapun itu, pengasuhan yang demokratis, pengasuhan yang permisif atau kebebasan.
Tidak ada yang paling benar atau bagus.
"Tetapi bagaimana kita mengombinasikan jadi demokratis,” ucap Dokter Sri.
Ia juga menerangkan, bahwa kunci dari mengasuh anak adalah komunikasi yang baik terhadap anak.
“Hak anak itu juga didengarkan.
Ketika sudah bisa bicara, kita harus mendengarkan dia.
Buatlah kesepakatan yang baik antara kita dan anak.
Mengenai toleransi kita sampai mana, apa hukuman yang akan kita berikan kepada dia agar tidak diulang.
Sehingga adanya kesepakatan,” ungkapnya.
Dokter Sri juga menerangkan, ternyata aksi kekerasan anak dan kasus penelantaran anak tidak hanya dapat menimbulkan luka dan trauma, yang bisa membuat anak tidak percaya diri.
Maupun takut saja.
Namun anak yang menerima aksi kekerasan anak atau kasus penelantaran.
Ke depanya bisa saja menjadi pelaku.

“Dalam ilmu kedokteran jiwa, dalam otak manusia terdapt saraf dan horman yang dapat menilai, ketika ia sering mendapat kekerasan maka dia bisa merasa bahwa kekerasan tersebut bisa membentuk rasa kenyamanan dan membuat dia bahagia.
Sehingga ia akan menjadi pelaku.
Tapi di dalam hatinya ia merasa marah, mengapa mereka harus mendapatkan perlakuan begini.
Maka trauma itu bisa menciptakan 2 tipe anak.
Ada yang akan memendam ada yang agresif,” ungkapnya.
Tribun Bali juga menyinggung mengenai pendapat DR.dr. Anak Ayu Sri Wahyuni, SpKJ tentang persoalan anak yang mengalami broken home.
“Berpisah merupakan pilihan mereka (orangtua).
Tetapi dasar itu, perlu diingat lagi ketika rumah tangga tidak memiliki komunikasi yang baik, sehingga memilih berpisah.
Apalagi anak menjadi korban, dan kasus diperebutkan untuk merasa masing-masing mampu memberikan pengasuhan yang baik karena ego dari orangtua.
Belum lagi orangtua setelah perceraian bermusuhan.
Ini membuat anak tambah hancur.
Maka komunikasi antar orangtua tetap harus dilakukan demi untuk anak.
Agar tidak ada konflik yang kembali memojokan anak.
Anak bisa saja mencari kebahagian di luar yang mana belum tentu benar.
"Maka harapan saya sebelum bercerai lakukanlah healing, cobalah konsul carilah ahli.
Jangan hanya mementingkan ego, kita lihat kembali pernikahan kita agar anak tidak menjadi korban,” terangnya.

DR.dr. Anak Ayu Sri Wahyuni ,SpKJ juga berharap terhadap kasus NY ini agar pemerintah ataupun keluarga korban.
Tidak hanya fokus dalam menyembuhkan luka fisik NY, tapi juga mental NY sangatlah penting untuk diobati pula.
“Anak itu ada yang bisa merekam kejadian dalam keadaan sadar maupun tidak sadar.
Bukan hanya luka fisik saja, tapi mentalnya harus diperhatikan dari sekarang.
Bisa dengan cara menceritakan cerita seperti ada binatang atau anak yang kurang beruntung, sehingga anak tau di dunia ini ada white and black, seperi cerita bawang merah dan bawang putih," kata Dokter Sri.
Maka dengan cerita itu, dapat meminimalisir dampak trauma dari kekerasan yang dialami.
Saya kira anak ini tidak hanya trauma dengan sakit fisiknya saja.
Sakit fisik saat ini saja, tetapi perpisahan antara ayah dan ibunya kemudian aksi kekerasan anak serta kasus penelantaran menjadi beban mental bagi anak.
Ini bisa berdampak ketika nanti anak masa akil balik.
Maka perlu diamati sedini mungkin.

Di penghujung Bincang Tribun Bali, dengan DR.dr. Anak Ayu Sri Wahyuni, SpKJ.
Ia pun memberi pesan kepada generasi muda yang ingin membangun rumah tangga alias menikah.
“Untuk pemirsa, terutama remaja, belajarlah mengomunikasikan perasaan nyaman maupun tidak nyaman. Semua harus dikomunikasikan.
Kemudian antara anak dan orangtua juga harus demikian.
Dan orangtua harus siap mendengarkan," sebutnya.
Untuk kesiapan menikah, pasangan harus menyiapkan mental, finansial, dan emosional yang matang.
"Kenali diri sendiri dulu.
Sudah siapkah saya.
Sudah kenalkah kita terhadap diri sendiri.
Apa kelebihan dan kekurangan yang kita miliki.
Sehingga tidak hanya bisa menilai orang lain.
Hal yang tidak cocok dengan pasangan, cari jalan tengah untuk menyelesaikanya dengan kesepakatan bersama," ucapnya.

Sebab pernikahan tidak hanya antara dua orang.
Tetapi banyak orang di belakang masing-masing pasangan, yang nanti bisa memprkeruh, mendewasakan, maupun merapuhkan suatu hubungan.
"Kata kuncinya adalah, bisakah kita ketika sejak masa pacaran memiliki komunikasi yang sehat.
Bukan merasa paling berkorban atau paling segalanya.
Dengan berpikir ingin mengubah seseorang, maka itu sudah salah.
Sebab mengubah diri sendiri saja tidak gampang.
Maka diperlukan komunikasi yang sehat dan adaptasi yang baik dalam suatu hubungan apapaun itu,"ucapnya (*)