Human Interest Story
Janarti Kumpulkan Sampah Buah Sisa Upakara, Lalu Diolah Menjadi Pupuk
Janarti Kumpulkan Sampah Buah Sisa Upakara, Lalu Diolah Menjadi Pupuk di buleleng
Penulis: Ratu Ayu Astri Desiani | Editor: Harun Ar Rasyid
TRIBUN-BALI.COM, SINGARAJA - Janarti nampak sibuk memotong buah di teras rumahnya.
Buah itu ia dapatkan dari bekas sarana upakara pitra yadnya (kematian), yang dihaturkan masyarakat di Pura Segara, Desa Adat Buleleng, Kecamatan/Kabupaten Buleleng.
Buah yang tidak dikonsumsi itu diolah oleh Janarti untuk bahan pembuatan pupuk organik eco enzyme.
Buah seperti jeruk, apel, hingga pisang dipotong kecil-kecil. Selain buah, sampah sisa sayur yang ada di rumahnya juga dipotong, lalu dicampurkan dengan molase dan air sesuai takaran.
Buah dan sayur kemudian dimasukan ke dalam gentong, lalu difermentasi selama tiga bulan hingga menjadi eco enzyme.

Teras rumah wanita yang dikaruniai dua orang anak ini, dipenuhi ratusan gentong berukuran 35 liter hingga 110 liter. Gentong itu berisikan eco enzyme hasil buatan dia dan suaminya. Ia rutin membuat eco enzyme setiap minggu, untuk digunakan di kebun dan kebutuhan rumah tangga.
Di kebun, Janarti menanam 15 pohon durian jenis kane. Pohon duriannya itu mulai dipupuk dengan campuran eco enzyme dan kotoran hewan pada 2020 lalu. Kini rasa buah yang dihasilkan diakui Janarti, lebih manis dan legit.
Janarti semangat membuat dan menggunakan eco enzyme dalam kehidupan sehari-hari, setelah mendapatkan sosialisasi dari Komunitas Eco Enzyme Nusantara Buleleng, pada 2019 lalu. Sosialisasi saat itu diberikan kepada Pengurus Penggerak Tim PKK Buleleng, dan Janarti menjabat sebagai sekretaris dalam tim tersebut. Dari sosialisasi itu, Tim Penggerak PKK diharapkan dapat membantu komunitas, untuk mengajak masyarakat mengolah sampah organik yang ada di rumah, menjadi eco enzyme
Janarti menilai, dengan membuat eco enzyme, mampu mengatasi sampah organik yang selama ini menjadi penyebab utama pencemaran lingkungan. Sebab, apabila sampah organik dibiarkan begitu saja tanpa pengolahan, dapat menghasilkan zat berbahaya bagi lingkungan. "Global warming itu penyebab utamanya adalah sampah organik yang tidak dikelola dengan baik. Jadi saya sangat tertarik untuk mengolah sampah organik yang dihasilkan di rumah, menjadi eco enzyme," terangnya.
Selain untuk memupuk tanaman, wanita kelahiran 28 Oktober 1975 ini juga menggunakan eco enzyme untuk mencuci pakaian, hingga cairan pembersih lantai. Eco enzyme yang bersifat asam, akan mudah menghancurkan kotoran, setelah dicampurkan dengan sedikit sabun dan air. Bahkan ia juga kerap menuangkan eco enzyme ke selokan di sekitar rumahnya agar tidak berbau.
Saat Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) menyerang ratusan ekor sapi di Buleleng pada Juli lalu, Janarti juga menyumbangkan 700 liter eco enzyme untuk peternak sapi. Sebab eco enzyme juga diyakini sebagai desinfektan alami, yang bisa mencegah penularan PMK.
Jenarti telah merasakan manfaat dari eco enzyme. Ia pun ingin agar masyarakat di sekitarnya juga membuat eco enzyme, melalui pengolahan sampah organik. Namun, hal tersebut diakui wanita asal Lingkungan Delod Peken, Kelurahan Kendran, Kecamatan/Kabupaten Buleleng tidak lah mudah. Ia menyebut, masyarakat sejatinya tau akan manfaat dari eco enzyme, namun malas untuk membuatnya sendiri.
"Mengajak orang untuk mengolah sampahnya sendiri memang cukup sulit. Kami sudah memberikan contoh cara membuatnya, tapi masyarakat masih merasa repot jika harus membuat sendiri. Eco enzyme buatan saya, saya bagi-bagikan ke tetangga dan petani di sekitar kebun. Jumlahnya lebih dari dua ton. Itu cara saya mengenalkan ke mereka akan manfaat dari eco enzyme ini," ungkapnya.
Kesadaran masyarakat untuk mengolah sampah organik yang dihasilkan dari rumah sendiri, memang masih rendah. Hal ini terlihat dari tumpukan sampah di TPA Bengkala Buleleng. Per hari, TPA seluas 4 hektar lebih itu menerima sampah yang belum dipilah sebanyak 400 meter kubik.
Kepala Bidang Pengelolaan Sampah dan Limbah B3 DLH Buleleng, I Ketut Cantyana mengatakan, TPA Bengkala saat ini kondisinya sudah overload. Ini karena minimnya kesadaran masyarakat dalam memilah dan mengolah sampah rumah tangganya sendiri. Padahal TPA sejatinya hanya menerima sampah residu seperti pembalut dan popok.