Berita Bali

Stop Perkawinan Anak! LSM Bali Sruti Kampanyekan Raih Ijazah Sebelum Akta Nikah!

Sejumlah persoalan yang dialami anak-anak, baik pernikahan di bawah umur, pelecehan seksual, hingga kekerasan anak memberi dampak psikologis

Istimewa
 Sambut Hari Anak Nasional 23 Juli 2023, Institut Kapal Perempuan, LSM Bali Sruti dan stakeholder lainnya adakan kampanye bersama mencegah dan menyetop perkawinan anak. 

Ketua Institut Kapal Perempuan, Misiyah, mengatakan seluruh pihak kini bertanggung jawab dan bersuara untuk menghapus kekerasan anak dan perempuan, termasuk perkawinan anak di bawah umur.

Hal penting lainnya adalah pencegahan dari dalam keluarga, komunitas terkecil di desa, hingga nasional.

“Perkawinan anak merupakan perkawinan di bawah usia 18 Tahun, di mana telah diatur UU Perkawinan usia 19 Tahun. Jadi sebelum usia 19 tahun menikah, artinya melanggar perkawinan anak.

Kalau penegakan hukumnya sudah ada, apalagi ini diatur dalam UU Perkawinan yang direvisi pada tahun 2019, yaitu UU Nomor 16. Perkawinan anak ini juga merupakan salah satu tindak pidana atas kekerasan seksual terhadap anak UU TPKS,” tegasnya.

Tantangan mengenai perkawinan anak juga disinggung Misiyah, atas adanya dispensasi dari Mahkamah Agung (MA).

Selain itu, adanya pandangan orang tua apabila si anak tidak lekas menikah, dikhawatirkan akan menjadi perawan tua (faktor budaya), termasuk pandangan kalau anak sudah menikah berarti sudah ada penanggung jawabnya padahal belum tentu demikian adanya.

 

“Ada laporan, seperti kepala desanya dilaporkan karena dia yang mengeluarkan surat (Perkawinan Anak), lalu tantangan terbesar adalah Hakim yang memutuskan dispensasi. Diketahui sudah diatur Mahkamah Agung (MA) bahwa untuk memberikan dispensasi, dinyatakan hamil harus hasil USG tidak boleh hanya sekadar bicara, lalu dispensasi dan dibiarkan boleh menikah,” tegasnya.

 

Sementara itu, Kadis Sosial Kota Denpasar I Gusti Ayu Laxmy Saraswati mengungkapkan dalam kondisi pandemi Covid-19 tidak dipungkiri sebelumnya banyak orang sibuk bekerja dan tidak mengawasi anak secara baik.

Kedua, adalah faktor pergaulan, dan Ketiga faktor media sosial. Dominasi anak-anak korban kekerasan seksual dan semacamnya berasal dari luar Bali.

 

“Kebanyakan anak-anak putus sekolah dari daerah asal, itu menyebabkan mereka memiliki waktu luang, di mana mereka berkenalan dengan seseorang di media sosial sehingga terjadilah pencabulan, kekerasan, penganiayaan, hingga pengeroyokan,” katanya.

 

Data Dinsos Kota Denpasar mencatat, untuk data anak terlantar Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS) Tahun 2022 sebanyak 210 orang.

Kemudian data disabilitas anak PPKS Tahun 2022 sebanyak 124 orang; dan data anak berhadapan dengan hukum mencapai 65 orang. (*)

 

 

 

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved