Berita Bali
Kasus Pelecehan Mandek Setahun, KPPAD Bali Minta Polisi Usut Pemerkosaan dengan Pelaku WNA
KPPAD Bali minta agar Polresta Denpasar segera menangani dua kasus pelecehan di Bali
Penulis: Ni Luh Putu Wahyuni Sari | Editor: Putu Dewi Adi Damayanthi
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR – Komisi Penyelenggara Perlindungan dan Pengawasan Anak Daerah (KPPAD) Bali minta agar Polresta Denpasar segera menangani dua kasus pemerkosaan yang sudah dilaporkan sejak setahun lalu.
Serta satu kasus pemerkosaan yang dilaporkan di Polda Bali lima bulan terakhir.
Ketua Komisi Penyelenggara Perlindungan dan Pengawasan Anak Daerah (KPPAD) Bali, Ni Luh Gede Yastini, Rabu 30 Agustus 2023, mengatakan, terlebih saat ini ia melihat kasus pemerkosaan di Bali kembali mengalami angka yang cukup tinggi.
“Kemarin saya lihat di media di Denpasar yang katanya buruh bangunan. Saya bersyukur ada yang sudah terungkap, namun ada beberapa kasus lain yang sampai sekarang masih berpersoalan dengan pembuktian. Jadi tidak menemukan titik temu dan masih mandek (berhenti) di kepolisian dan ini yang menjadi keprihatinan,” kata Yastini, Rabu.
Baca juga: Pelaku Pemerkosaan Tak Layak Dapat Remisi, KPPAD Minta Kebiri Pelaku Kejahatan Seksual
Dua kasus yang dilaporkan di Polresta Denpasar satu diantaranya merupakan kasus pelecehan seksual yang terjadi di sebuah yayasan yang berlokasi di Jalan Gunung Soputan, Denpasar Barat.
Pelaporan kasus ini sudah dilakukan sejak setahun lalu. Korbannya merupakan anak berinisial KDL yang tinggal di yayasan tersebut dengan terduga pelaku warga negara asing (WNA) juga beberapa orang dalam yayasan.
Diduga pelecehan seksual tersebut terjadi saat anak tersebut masih duduk di bangku Sekolah Dasar.
Saat ini anak tersebut sudah melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan tinggal di rumah aman.
Namun sayangnya WNA yang diduga menjadi pelaku pelecehan tersebut tidak ditahan dan sudah kembali ke negaranya.
“Jadi dia sudah mengalami itu diduga sejak usia 9 tahun. Sudah melibatkan psikiater. Beberapa saksi yang sebelumnya juga sudah diperiksa. Kita juga sudah mendorong diperiksa saksi ahli untuk memperkuat, tapi sampai saat ini tidak ada kejelasan,” imbuhnya.
Kemudian kasus yang kedua sampai saat ini penanganannya juga belum jelas, di mana pelakunya juga merupakan WNA dan sama-sama ditangani di Polresta Denpasar.
Sudah dilaporkan dan korbannya merupakan anak laki-laki seorang penyandang disabilitas.
Anak tersebut kini duduk di bangku SMA. Kasus ini dilaporkan pada tahun ini dan WNA tersebut diduga masih berada di Bali.
“Satu lagi di Polda Bali kasus anak-anak yang SD yang diduga menjadi korban lewat media yang dicabuli. Sudah 5 bulan itu juga belum (ditindaklanjuti kepolisian),” bebernya.
Yastini juga mengatakan, di KPPAD ia sudah berulang kali melakukan rapat koordinasi, mengundang penyidik juga di sini untuk berbicara soal kasus tersebut.
Dan sampai detik ini juga tidak ada kemajuan.
Dikatakan Yastini, alasannya pada pembuktian dan itu dinilainya sudah cukup lama.
Menurutnya, ini penting untuk menjadi atensi, terlebih sekarang UU tindak pidana kekerasan seksual harusnya juga mempermudah korban untuk mendapatkan keadilan.
Selama 2023, kasus pemerkosaan di Bali yang dilaporkan melalui KPPAD sebanyak 12 kasus, termasuk kasus lama yang belum menemui titik terang.
Besar harapannya ketika berbicara kekerasan seksual UU Pemerintah sudah banyak mengatur dan berat sekali hukumannya.
Namun jika sekarang dilihat dari pelaksanaan UU ia berpikir efek jera dari hukum membuat pelaku tak begitu peduli.
Terlebih ada kasus yang tidak terungkap dan rumit sehingga terkesan susah untuk melakukan pembuktiannya.
“Padahal kita sudah punya UU baru UU tindak pidana kekerasan seksual yang harusnya memudahkan untuk dilakukan penyelidikan. Hukum acaranya kan berbeda. Tidak menggunakan hukum acara biasa. Sekarang kita ada MoU dengan beberapa sekolah PAUD-SMA/SMK, di sana kita mendorong bagaimana sekolah membuat standar operasional prosedur untuk adanya nanti mereka bisa membuat upaya pencegahan di dalamnya dan upaya penanganan,” paparnya.
Sementara dari sisi masyarakat KPPAD sudah mendorong pararem perlindungan anak.
Harapannya dengan itu desa adat ikut terlibat dalam hal perlindungan anak.
Paling tidak, mengingatkan kemudian melakukan upaya di internal masyarakat desa adatnya, kan banyak program seperti pasraman.
Kalau desa dinas, mereka memiliki program-program penberdayaan masyarakat yang bisa digunakan untuk penguatan-penguatan upaya perlindungan anak.
Masyarakat juga harus terlibat di dalamnya. Kepedulian masyarakat kita perlukan untuk melaporkan kalau mengetahui.
Yastini dengan tegas meminta agar pelaku pelecehan seksual bisa mendapatkan hukuman kebiri. Menurutnya sudah terdapat UU yang mengatur dan masih memungkinkan kebiri diterapkan.
“Itu legal dilakukan dengan pertimbangan-pertimbangan dari hakim, seperti yang diatur dalam UU. Sudah berlaku, dalam kebiri ada syarat yang harus dipenuhi, misalnya di dalam UU melakukan pada anak yang jumlahnya lebih dan pengulangan itu akan mendapatkan hukuman, tapi bagi yang tidak dihukumnya sampai 20 tahun apalagi kalau ada hubungan keluarga,” jelasnya, Rabu.
KPPAD mendorong agar ada pemberatan hukuman bagi mereka yang melakukan hal tersebut, terutama bagi orang dekatnya seperti pamannya atau keluarganya yang lain itu harus ada pemberatan, seperti yang diberlakukan di UU.
Kalau memang seperti paedofil, ia mendorong untuk dilakukan pelaksanaan kebiri.
“Harus dilakukan, kalau di UU kebiri dilihat lebih ke dampak, seperti menimbulkan kematian, kesehatan yang sistemik juga hakim bisa saja melihat. Kita di KPPAD mendorong agar pelaku mendapatkan hukuman yang maksimal. Kalau memang bisa dikebiri, ya dikebiri lah agar tidak melakukan lagi pada anak-anak yang lain,” imbuhnya.
Tahanan pelecehan seksual, menurut Yastini, seharusnya tidak dapat remisi.
Namun masalahnya di peraturan per-UU ketika mereka berkelakuan baik akan mendapatkan remisi.
Ia pun mengingat ketika tahun 2017 sempat mendampingi kasus paedofil karena korbannya lebih dari satu dan hal tersebut dilakukan pengulangan.
Kejadiannya berlangsung di dua tempat di Karangasem dan Singaraja pelakunya orang yayasan.
“Waktu itu saya bersama Polda Bali mengusut kasus itu. Pelaku dikenai hukuman 8 tahun di PN Buleleng. Sidangnya di sana, tapi kemudian dia dapat remisi. Saya sampai kaget. Ketika ditanya kenapa dia sudah bebas. Jadi hukumannya hanya 5 tahun lebih,” bebernya.
Yastini berharap, pelaku kekerasan seksual tidak mendapat remisi karena melihat dampaknya begitu berat untuk korban, terutama anak-anak.
Mereka (pelaku) hanya dihukum 8 tahun, 10 tahun di dalam penjara, tapi anak-anak ini berapa tahun mengalami penderitaan itu yang harus dilihat.
Namun juga ada sisi ini HAM sehingga mereka berhak mendapatkan remisi selama berkelakuan baik. (sar)
Waspadai Predator Anak
KAPOLRESTA Denpasar, Kobes Pol Bambang Pamungkas, meminta orangtua untuk mewaspadai predator anak yang melakukan tindakan pelecehan dan pemerkosaan terhadap anak seperti marak terjadi belakangan di Bali.
Dia mengatakan, orangtua harus selalu mengecek keberadaan anak selama berada di luar jam sekolah, baik aktivitasnya maupun kondisi fisik maupun psikis sang anak.
Lebih dari pada itu, anak-anak dibiasakan untuk bersosialisasi dan berani melawan tindakan-tindakan yang mengarah kepada pelecehan, terutama bagi perempuan, termasuk dari orang-orang terdekat yang dikenalinya.
"Sebagian besar pelakunya orang-orang dekat. Wanita harus kita jaga dan hormati hak-haknya," kata dia pada konferensi pers pengungkapan kasus dugaan pelecehan dan pemerkosaan terhadap anak di bawah umur di Denpasar Selatan oleh seorang laki-laki bernama Mohamad Sukirman, Selasa 29 Agustus 2023.
Terkait pelecehan dan persetubuhan yang dilakukan oleh Sukirman, Kapolresta Denpasar Bambang Yugo menjelaskan tindak pidana pencabulan dan persetubuhan terhadap korban yang masih SMP berinisial NA oleh pelaku Sukirman terjadi sejak 2019 hingga April 2023.
Selama kurun waktu itu, pelaku yang kini telah ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Polresta Denpasar mengakui telah tiga kali melakukan persetubuhan paksa disertai dengan ancaman kekerasan terhadap korban.
Persetubuhan pertama dilakukan pada 2019 sewaktu korban masih duduk di bangku sekolah dasar.
Tindakan serupa juga dilakukan pelaku tahun 2022 di rumah korban yang saat itu ditinggal sesaat oleh sang ibu.
Pelaku yang merupakan tetangga yang sudah beristri dan memiliki anak itu melakukan aksi tak senonoh itu untuk kedua kalinya disertai ancaman kepada korban.
Pada April 2023, korban kembali dicabuli laki-laki berumur 64 tahun itu disertai ancaman verbal.
Hingga pada 13 Agustus 2023, korban memberanikan diri untuk menceritakan kejadian yang dialaminya kepada sang ibu.
"Korban diancam oleh pelaku agar tidak mengadukan perbuatannya tersebut. Dan setelah sekian lama korban berani untuk mengungkap peristiwa yang dialaminya tersebut," kata dia, yang didampingi Kasat Reskrim Polresta Denpasar, Komisaris Polisi Losa L Araujo, dan Kasi Humas Polresta Denpasar, AKP Ketut Sukadi.
Sang ibu pun langsung melaporkan perbuatan pelaku kepada Polresta Denpasar. Setelah pelapor melaporkan kejadian yang menimpa anaknya, Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Polresta Denpasar langsung meminta keterangan korban dan mengantarkan korban visum ke rumah sakit.
Dari hasil pemeriksaan, Satreskrim Polresta Denpasar mendapatkan identitas pelaku dan langsung menuju ke lokasi untuk mengamankan pelaku yang saat itu sedang bekerja sebagai buruh bangunan tidak jauh dari tempat tinggalnya.
"Motif pelaku setelah kami lakukan pemeriksaan kepada pelaku, pelaku bernafsu melihat tubuh korban seperti orang dewasa," kata Bambang Yugo.
Atas perbuatannya tersebut, pelaku dijerat Pasal 81 Juncto Pasal 76 D dan atau Pasal 82 ayat (1) UU No 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman maksimal 15 tahun penjara dan denda lima miliar.
Hingga kini, Polresta Denpasar masih mengembangkan kasus tersebut termasuk mendalami apakah ada korban lain yang menjadi korban pelecehan dan pemerkosaan oleh pelaku Sukirman. (ant)
Kumpulan Artikel Bali
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.