Kasus SPI Unud
Tim JPU Hadirkan Ahli IT dan Ahli Pidana, Sidang Kasus Dugaan Korupsi SPI Unud
Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan dua ahli dalam sidang lanjutan perkara dugaan korupsi dana Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI)
Penulis: Putu Candra | Editor: Ida Ayu Suryantini Putri
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan dua ahli dalam sidang lanjutan perkara dugaan korupsi dana Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) mahasiswa baru (maba) seleksi jalur mandiri Universitas Udayana (Unud) tahun 2018-2022.
Kedua ahli dihadirkan untuk didengar pendapatnya pada persidangan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Denpasar, Senin (18/12/2023).
Baca juga: Hakim Buka Percakapan Mahasiswa "Jalur Belakang" di Sidang Dugaan Korupsi SPI Jalur Mandiri Unud
Adalah Irwan Haryanto, ahli IT dan digital forensik dari JAMIntel Kejaksaan Agung RI dan ahli hukum pidana, Hendri Jayadi. Keduanya didengar keterangannya untuk tiga terdakwa, yaitu Dr Nyoman Putra Sastra (berkas terpisah), I Ketut Budiartawan dan I Made Yusnantara.
Dalam sidang yang dipimpin hakim Putu Ayu Sudariasih didampingi hakim anggota Gede Putra Astawa dan Nelson, ahli IT, Irwan Haryanto menerangkan, telah membuka percakapan via ponsel antara terdakwa mantan Rektor Unud Prof Dr Ir I Nyoman Gde Antara MEng dengan terdakwa Putra Sastra.
Baca juga: "Konflik" Perebutan Kursi Rektor Unud Terungkap di Sidang Dugaan Korupsi SPI
Haryanto mengatakan, ditemukan adanya percakapan antara keduanya Percakapan melalui aplikasi WhatsApp (WA).
Di mana dalam percakapan itu ditemukan adanya permintaan meluluskan calon mahasiswa. Pula permintaan mengubah nilai hingga calon mahasiswa tersebut diterima di Unud.
Sedangkan Hendri Jayadi sebagai ahli pidana menerangkan terkait delik pidana dalam pasal 12 e dan Pasal 9 Undang-Undang Tipikor. Juga perihal kerugian keuangan negara dan kerugian perekonomian negara dalam pidana korupsi.
Baca juga: Sidang Dugaan Korupsi SPI Unud, Adi Panca: Prof Antara Perintahkan Saya Buat Fitur Ubah Nilai
Menurut Hendri Jayadi, tindak pidana korupsi tidak harus ada kerugian negara atau perekonomian negara. Pula mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2016.
"Mengenai putusan MK tahun 2016, tindak pidana korupsi dapat menimbulkan kerugian negara. Bagaimana menurut ahli," tanya penasihat hukum terdakwa.
"Itu khusus pasal 2 dan 3, itu wajib ada laporan kerugian keuangan negara. Itu khusus dalam putusan MK. Tapi tindak pidana korupsi mencakup, bisa berupa menyalahgunakan kewenangan, gratifikasi dan suap menyuap," jelas Hendri.
Baca juga: Sidang Dugaan Korupsi SPI Unud, Adi Panca: Prof Antara Perintahkan Saya Buat Fitur Ubah Nilai
Terkait adanya pasal 12 e, kata Hendri dalam ranah korupsi masuk kategori gratifikasi.
"Itu pemerasan dalam jabatan, masuk pada kelompok gratifikasi," terangnya.
Mengenai pasal 9 terkait pemalsuan, Hendri mengilustrasikan, adanya pihak yang mengubah nilai lalu masuk ke dalam laporan. "Ilustrasinya mengubah nilai dari nilai 60 menjadi 90. Itu pemalsuan data, lalu dibuatkan laporan," paparnya.
Soal adanya pungutan tanpa Surat Keputusan (SK), dengan tegas Hendri menyatakan, itu adalah pungutan liar.
"Tidak ada SK-nya, tapi dilakukan pungutan, saya katakan itu pungutan liar," ucapnya. (*)
Prof Antara Divonis Bebas, Ketua BCW: Jaksa Harus Bertanggung Jawab Apa yang Dikerjakan |
![]() |
---|
Divonis Bebas, Dikeluarkan dari Tahanan, Prof Antara dkk Langsung Melukat |
![]() |
---|
Prof Antara Divonis Bebas dalam Dugaan Korupsi Kasus SPI Unud, Penasihat Hukum Lontarkan Pesan Keras |
![]() |
---|
Prof Antara dan 3 Pejabat Unud Divonis Bebas, Tak Terbukti Bersalah di Kasus Dugaan Korupsi SPI Unud |
![]() |
---|
Tangis Mantan Rektor Unud Pecah Seusai Divonis Bebas dan Ini Kata Prof Antara Setelah Sidang |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.