Berita Bali

Pengusaha Bali Ancam Tak Bayar Pajak, Kompak Tolak Kenaikan Pajak Hiburan 40-75 Persen

Pelaku hiburan malam kompak menolak kenaikan pajak hiburan atau Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) 40 persen.

Istimewa
Keberatan Pajak 40 persen untuk usaha hiburan dan SPA disampaikan Ketua BPD PHRI Bali Prof. Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati (Cok Ace) yang datang menemui Pj. Gubernur Bali S.M Mahendra Jaya bersama jajaran pengurus BSWA Bali, Senin 15 Januari 2024. 

TRIBUN-BALI.COM, BADUNG - Pelaku hiburan malam kompak menolak kenaikan pajak hiburan atau Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) 40 persen.

Mereka sudah menggelar pertemuan di salah satu hotel di Berawa, Kuta Utara, Badung, Senin (15/1/2024).


Pada pertemuan tersebut, mereka menyatukan persepsi dan mendesak apa yang harus dilakukan agar semua itu tidak diterapkan.

Baca juga: Wisata Putung Akan Ditata Ulang, Pemkab Klungkung Siapkan Anggaran Hingga Rp4.5 Miliar

Bahkan mereka mengancam tidak akan membayar pajak sebelum pajak kembali diturunkan, selain itu juga akan dilakukan demo dengan turun ke jalan.


Bahkan sejumlah usaha khususnya di Kabupaten Badung masih enggan menerapkan PBJT 40 persen itu, walaupun Kabupaten Badung sudah mengeluarkan surat edaran soal tarif baru pajak hiburan dan spa.

Pengusaha beralasan jika diterapkan dikhawatirkan berdampak ke sepinya pelanggan dan berpotensi merugikan usaha hiburan malam.

Baca juga: Polemik Pajak Hiburan Naik 40 Persen, Hotman Paris Desak Presiden Jokowi Keluarkan PERPPU


"Pelaku usaha hiburan sudah menerima edaran soal tarif baru PBJT dari Pemda Badung pada awal Januari 2024, akan tetapi sebagian pengusaha enggan menerapkan aturan tersebut karena dinilai tidak masuk akal dan berpotensi mematikan usaha hiburan di Bali," ujar Public Relation Atlas Beach, Tommy, Senin.


Tommy mengaku sudah menerima edaran dari Pemda Badung per 4 Januari 2024, dan dalam surat tersebut disebutkan pajak PBJT 40 persen berlaku per 1 Januari 2024.

Menurut Tommy, tidak semua pengusaha hiburan sudah mengetahui tarif pajak PBJT yang baru, sehingga ini menimbulkan polemik di kalangan pengusaha.

Baca juga: Terkait Pajak Hiburan Naik 40 Persen, PHRI Badung : Judicial Review atau Demo Solusinya


General Manager Boshe Bali I Gusti Bagus Suwipra mengatakan hal yang sama. Namun sementara saat ini di Boshe Bali memang merasakan penurunan pengunjung.

"Turun sih (pengunjung). Karena pasca pandemi daya beli orang turun. Terus ditambah dengan pajak ini, ya makin turun lagi," ucapnya.


"Namun sayang mungkin pengunjung akan datang hanya sekali, karena melihat pajaknya sangat besar. Coba misalnya jual minuman Rp 1 juta, terus pajaknya 40 persen, sudah terasa itu seperti harganya ada kenaikan," sambungnya.


Suwipra mengaku pajak 15 persen sebelumnya sudah besar. Dengan kenaikan pajak menjadi 40 persen itu, menurutnya, tidak akan ada PHK massal, namun yang ada perusahaan banyak yang akan bangkrut.

"Jangankan PHK, perusahaan pasti bangkrut duluan. Jadi kami setuju sekali jika akan dilakukan aksi. Kalau itu memang cara atau yang dipilih teman-teman semua dan didukung beberapa tokoh, ya jalankan saja," tegasnya.


Kondisi pariwisata di Bali kemungkinan terpuruk setelah pajak hiburan naik 40 persen.

Bahkan Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Badung menilai wisatawan akan pergi ke Thailand yang pajaknya sangat rendah.

Jika tetap dilaksanakan, maka nasib pariwisata Bali tidak seindah kontribusi yang diberikan.


"Jadi kenaikan pajak ini merupakan berita yang tidak mengenakkan. Sehingga Bali ini tidak seindah kontribusi yang diberikan," kata Ketua PHRI Badung I Gusti Ngurah Rai Suryawijaya saat ditemui di Berawa, Kuta Utara Badung, Senin (15/1/2024).


Selaku Wakil Ketua PHRI Bali, pihaknya sangat menolak keras UU No 1 tahun 2022 tentang hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan Pemda yang menaikkan pajak hiburan mengingat beberapa usaha akan mati dengan pengenaan pajak yang sangat tinggi.


Suryawijaya mengakui, jika semua itu dilaksanakan, maka akan membunuh UMKM, yang mana 90 persen itu pengusaha lokal.

Dirinya mengaku usaha spa di Bali jauh berbeda dengan spa di luar, mengingat usaha spa di Bali adalah untuk kebugaran, atau spa plus.

"Mirisnya negara Thailand menurunkan pajaknya menjadi 5 persen. Sehingga wisatawan berbondong-bondong ke sana sehingga kita kalah bersaing," ujarnya.


Pihaknya mengaku, pendapatan pemerintah bukan hanya dari pajak hiburan saja, namun ada juga yang lain. Dengan begitu Suryawijaya mengaku situasi kenaikan pajak itu tidak tepat.

"Kita sekarang baru bertumbuh pasca Covid-19, sehingga harus berkembang. Jangan sampai kita dibunuh pelan-pelan dengan kondisi ini," bebernya.


Mengingat UU No 1 tahun 2022 dibuat pemerintah pusat, maka pihaknya akan membuat seminar nasional dengan mengundang ahli hukum tata negara dan pelaku pariwisata.

Setelah itu dilakukan judicial review bersama semua pengusaha hiburan malam.

Namun jika tidak berhasil maka akan ada demo dalam penerapan UU tersebut.


"Ini bahaya dalam suasana pemilu. Bahkan pengusaha bisa menunda pembayaran pajaknya. Jadi siapa yang bisa bayar pajak 40 persen? Itu nanti pasti akan terjadi pengurangan tamu-tamu," ucapnya.


Pihaknya mengaku, idealnya pajak hiburan dikenakan 15 persen. Itu pun katanya sudah lumayan besar, mengingat Thailand sudah menurunkan pajaknya.

"Kita perlu hati-hati. Di Asia saja kita bersaing seperti ini, apalagi di dunia. Ini sudah mulai dirasakan, sehingga penting judicial review. Kalau tidak, kita bisa menunda pembayaran pajak hingga judicial review dilaksanakan," imbuhnya.


Dinas Pariwisata (Dispar) Bali meminta agar para pengusaha bidang hiburan dan spa agar menggunakan UU No 1 Tahun 2022 sebagai acuan untuk ajukan keberatan pajak 40 persen.

“Sudah kita sampaikan ada pasal untuk mereka melakukan keberatan itu.

Kami menyurati teman-teman pemerintah di kabupaten/kota. Mengacu kepada Pasal 1 itu yang berupa UU, diskusi-diskusi jadi gunakan pasal 1 itu untuk acuan keberatan,” kata Kepala Dispar Provinsi Bali Tjok Bagus Pemayun, Senin (15/1/2024).


Hingga kini kata Tjok Pemayun pihaknya juga masih menanti keputusan pemerintah pusat terkait penerapan pajak 40 persen untuk usaha hiburan dan spa.

“Pertama, mengenai uji publik itu kan kita tidak pernah diajak ya. Saya belum tahu ini juga, katanya kan temen-teman (pengusaha hiburan dan spa) juga tidak ada yang tahu. Tapi saya memaklumi karena waktu itu kan memang di usaha spa mereka masih fokus pemulihan usahanya ya,” katanya.


Pengusaha yang tergabung dalam Bali Spa & Wellness Association (BSWA) yang bernaung di bawah PHRI Bali menyampaikan keberatan atas pengenaan pajak hiburan 40 – 75 persen.

Keberatan itu disampaikan Ketua BPD PHRI Bali Prof Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati (Cok Ace) yang datang menemui Pj Gubernur Bali, SM Mahendra Jaya bersama jajaran pengurus BSWA Bali, Senin (15/1).


Ketua PHRI Bali Cok Ace menggarisbawahi amanat UU yang memasukkan usaha mandi uap/spa sebagai hiburan.

Sebab menurutnya, Spa yang berkembang di Bali memiliki kekhasan dan telah diakui WTO sebagai usaha di bidang kesehatan.

Wakil Gubernur Bali Periode 2018-2023 ini menambahkan, usaha spa yang bekembang di Bali memiliki keunikan karena dalam pengembangannya juga membawa misi penggalian dan pengembangan potensi lokal ‘boreh Bali’.


Pj Gubernur Mahendra Jaya dapat memahami keresahan BSWA dan PHRI Bali terkait dengan pemberlakuan pajak hiburan 40-75 persen, di mana di dalamnya termasuk usaha mandi uap/spa.

Sependapat dengan Ketua PHRI, Mahendra Jaya juga menilai kalau Spa yang berkembang di Bali berkaitan dengan pengembangan potensi sumber daya lokal.

Oleh karena itu, ia menghormati langkah hukum yang ditempuh BSWA Bali dengan mengajukan judicial review atas UU No 1 Tahun 2022.


Namun, paralel dengan langkah itu, Mahendra Jaya menyarankan PHRI dan BSWA Bali mengajukan permohonan insentif fiskal yang nantinya diatur dalam Peraturan Kepala Daerah.

Menurutnya langkah ini diatur dalam pasal 101 UU Nomor 1 Tahun 2022 yang menyebutkan bahwa gubernur/bupati/walikota dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di daerahnya dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi. (gus/sar)


Hotman Desak Jokowi Bikin Perppu


PENGACARA kondang Hotman Paris Hutapea sangat menolak keras kenaikan pajak hiburan atau besaran Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) yang diterapkan pada jasa hiburan, termasuk diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap atau spa.

Pihaknya meminta Presiden Jokowi mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) untuk menunda aturan pajak hiburan 40-75 persen.


"Perppu itu harus dikeluarkan oleh Presiden. Jadi bagaimana caranya kita mendesak hal itu," kata Hotman kepada sejumlah pengusaha hiburan di Bali saat ditemui di Berawa Badung, Senin (15/1/2024).


Hotman mengaku, aturan ini, yang tercantum dalam UU No 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, menetapkan tarif PBJT antara 40 persen hingga 75 persen.


Pengacara yang sering tampil bersama sekprinya itu pun mengaku pajak PBJT 40 persen akan melumpuhkan usaha hiburan dan spa, karena tidak ada konsumen yang mau membayar hiburan dan jasa spa yang pajaknya 40 persen. "Masak kita ke spa membayar pajak saja 40 persen. Hanya pijet-pijet kaki bayar 40 persen, siapa yang mau?" tanyanya.


Hotman menyebutkan, daya saing Bali semakin terhimpit karena negara lain, seperti Dubai dan Thailand malah menurunkan pajak hiburan. Saat ini trend kunjungan wisman ke dua negara tersebut sedang naik dan Bali akan semakin ditinggalkan jika pemerintah bergeming dengan PBJT 40 persen.


"Kita sudah kalah sama negara lain, mana ada di dunia ini pajaknya besar sekali. Mungkin ada seperti di Denmark sampai 80 persen, tapi di sana gratis semua. Di Indonesia di mana bisa gitu? Lihat pegawai spa apa yang didapat jika pajak naik," ucapnya.


Hotman yang juga pengusaha hiburan di Bali itu mengatakan, Presiden Jokowi sebaiknya segera menerbitkan Perppu untuk mengatasi polemik tersebut dan menyelamatkan pariwisata Bali. Jika menunggu uji materi MK, menurut Hotman terlalu lama dan tidak memberikan kepastian terhadap dunia usaha.


"Kami minta Pak Jokowi segera menerbitkan Perppu, dan ini akan menjadi legasi yang bagus untuk beliau di akhir masa jabatannya. Pajak hiburan 40 persen ini tidak rasional sama sekali," tegasnya. Hotman menduga keluarnya UU tersebut karena ada yang menyelipkan dan mungkin ada kelalaian DPR, sehingga tidak dilakukan pembahasan detail. (*)

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved