Berita Bali

Perkawinan Anak Tembus 368 Kasus, KPAD Bali Catat Peningkatan Kasus di Tahun 2024, Ini Penjelasannya

Pada kasus pernikahan dini karena kehamilan, sebenarnya kalau dilihat dari peraturan Mahkamah Agung (MA) terdapat 2 syarat.

TRIBUN BALI/ NI LUH PUTU WAHYUNI SRI UTAMI 
UNGKAP – KPAD Bali menberikan catatan terkait pengungkapkan kasus perkawinan anak dan kekerasan terhadap anak di Bali pada tahun 2024, di Denpasar, Jumat (17/1). 

Jika dilihat dari usianya rata-rata yang bisa dikategorikan pernikahan dini adalah anak-anak di bawah usia 18 tahun. Sementara pada Undang-undang (UU) Perkawinan, umur pernikahan dibatasi minimal 19 tahun. Untuk melakukan perkawinan, mereka yang di bawah usia 19 tahun wajib mengajukan dispensasi perkawinan.

“Jangan sampai artinya perkawinan anak ini hanya dipakai istilahnya untuk biar menghapus pidana. Kita tidak tahu, kita tidak tahu nanti apa ke depannya hanya untuk menghapus pidana yang penting anak sudah dinikahi setelah itu terjadi penelantaran lagi. Seorang anak mengasuh anak kemudian dilantarkan lagi. Jadi otomatis bisa jadi nambah kasus lagi,” imbuhnya. 

Pernikahan muda ini berakibat perceraian hingga penelantaran anak. Jika terjadi penelantaran anak akan ada 2 anak yang telantar yakni ibu sebagai usia anak dan anak yang memang masih kecil. Yastini meminta dalam hal pengajuan dispensasi kawin ini harus benar-benar memastikan memang benar dan urgent serta dapat dilakukan. 

“Jangan sampai itu dilakukan hanya untuk menghapus pidana. Kalau sejauh ini, sebenarnya kalau untuk perlindungan anak sejak awal kita sudah ada MoU (Memorandum of Understanding) dengan Majelis Desa Adat (MDA),” paparnya.

Ia berharap MDA dapat mendorong desa adat di seluruh desa adat di Bali sejumlah 1.500 desa untuk memiliki parerem perlindungan anak. Terlepas dari apakah itu khusus untuk perkawinan anak atau sesuai dengan kebutuhan desa adatnya.

Sehingga pernikahan anak bisa dicegah dari hulunya. Di Denpasar ada beberapa Desa Adat yang membuat parerem, khusus tentang anak yang berada di warga dan anak yang menjadi korban.

“Harus ada perarem di desa adat untuk memastikan anak-anak kita tidak menjadi korban. Dan kalau pun menjadi korban, bagaimana Desa Adat ini bisa berperan untuk ikut melindungi dan memastikan mereka tetap dapat haknya, misalnya harus sekolah, tidak di-bully, tidak distigma. Nah itu yang kita harapkan sebenarnya dari desa adat,” ujar Yastini. (sar)

Ratusan Korban Kekerasan Seksual

KPAD Bali juga mendapati beberapa temuan dalam laporan berkaitan dengan perlindungan anak di Provinsi Bali di tahun 2024.

Ketua KPAD Bali, Ni Luh Gede Yastini mengatakan, tahun 2024 KPAD Bali memotret kasus kekerasan terhadap anak, seksual, fisik dan lain-lain. 

Untuk anak yang menjadi korban kekerasan seksual, fisik dan lain-lain di Provinsi Bali pada Tahun 2024 sejumlah 361 kasus yang dilaporkan.

“Kita tidak tahu mungkin ada yang tidak dilaporkan. Dari angka 361 kasus kekerasan pada anak paling banyak adalah kasus kekerasan seksual. Kemudian ini juga sejalan dengan kondisi perkawinan anak di Provinsi Bali yang meningkat dibandingkan tahun sebelumnya,” jelas Yastini. 

Penanganan kasus kekerasan pada anak ini salah satunya mulai dari membangun rumah aman. Bali belum mempunyai rumah aman yang benar-benar intensif untuk mendukung anak-anak.

Kemudian anak-anak yang dalam penanganan kasusnya mungkin ada beberapa persepsi dari Aparat Penegak Hukum (APH) itu sendiri. Sehingga menyebabkan bagaimana dalam pengungkapannya. 

“Kemudian juga beberapa kasus anak akhirnya hilang. Nah ini juga menjadikan permasalahan. Sehingga kasusnya akhirnya tergantung-gantung. Terlebih lagi, kasus yang agak berat adalah ketika pelakunya itu adalah orang sekitarnya, itu orang tuanya sendiri,” kata dia. 

Halaman
123
Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved