Budaya Bali

Upacara Ngadegang di Banjar Adat Sampalan Nusa Penida, Ingatkan Umat untuk Harominisasi dengan Alam 

Ritual yang digelar setahun sekali ini, sebagai bentuk harmonisasi bhuana agung (alam semesta) dan bhuana alit (diri manusia).

ISTIMEWA
Krama Banjar Adat Samplan, Desa Adat Dakem Setra Batunggul, Kecamatan Nusa Penida menggelar upacara Ngadegang. 

TRIBUN-BALI.COM -  Krama Banjar Adat Samplan, Desa Adat Dalem Setra Batunggul, Kecamatan Nusa Penida menggelar upacara Ngadegang.

Ritual yang digelar setahun sekali ini, sebagai bentuk harmonisasi bhuana agung (alam semesta) dan bhuana alit (diri manusia).

Pakelih Banjar Sampalan, I Dewa Made Sudana, menyampaikan, upacara ini rutin dilaksanakan setiap tahun menjelang Tilem Kapitu. Tahun ini, upacara dilangsungkan pada Minggu (26/1/2025), sesuai dengan perhitungan wariga.

Prosesi ini diawali dengan ritual melasti, yang membawa pelawatan barong dan simbol-simbol sakral lainnya ke pantai setempat untuk disucikan. 

Baca juga: 37 Ribu Orang Masuk Bali Saat Libur Panjang, 31 Kapal Beroperasi di Pelabuhan Gilimanuk

Baca juga: Banjir di Pejarakan Buleleng Gerus Jalan, Perbekel Minta Segera Ditindaklanjuti

“Ngadegang adalah ritus untuk menjaga harmoni antara buana agung (alam semesta) dan buana alit (diri manusia). Pelawatan barong dan simbol-simbol sakral lainnya akan disucikan dan nyejer selama 11 hari.

Selain itu, umat juga mendak Ida Bhatara Tirta dari Pura Kahyangan Jagat se-Nusa Penida, yang nantinya akan dibagikan kepada krama untuk disiratkan di parahyangan, pawongan, dan palemahan masing-masing,” jelas Dewa Sudana.  

Menurut Dewa Sudana, upacara ini mengingatkan umat untuk menjaga keseimbangan antara manusia, alam, dan Sang Pencipta. Selain meningkatkan spiritualitas, upacara ini juga mempererat rasa kebersamaan di tengah tantangan globalisasi.  

“Persiapan dan pelaksanaan upacara dilakukan secara gotong royong oleh krama dan sekaha. Rasa kebersamaan inilah yang menjadi kekuatan kita,” tambahnya.  

Setelah melasti di pantai, pelawatan barong bangkal dan simbol-simbol sakral lainnya diarak menuju perempatan desa.

Pecalang dengan sigap mengatur lalu lintas, meskipun jalan utama sempat macet selama 45 menit. Prosesi dilanjutkan dengan persembahan segehan agung yang melibatkan korban seekor anak ayam hitam.

 Upacara ini juga menjadi wujud rasa syukur kepada Sang Penguasa Alam atas segala karunia yang diberikan. 

“Melalui upacara ini, kita memohon agar bumi ini menjadi teduh, damai, dan penuh kerahayuan,” terang Dewa Sudana.  

Pada sore harinya, persembahyangan dilaksanakan oleh Krama Banjar Sampalan, disertai berbagai tari wali sebagai persembahan. Tari Rejang Dewa dibawakan oleh anak-anak, Tari Rejang Dedari oleh Sekaha Teruni, dan Tari Pendet Pasepang.

Upacara ini prosesi nyejer selama 11 hari, tirta atah air suci nanti akan dibagikan kepada umat sebagai peneduh dan penyucian diri, alam, dan tempat tinggal mereka. (mit)

 

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved