Berita Bali
Dugaan Kekerasan Aparat, Jurnalis Detikbali Tempuh Jalur Hukum, Desak Polda Bali Usut Tuntas
Diketahui Nia mendapat perilaku intimidasi dan kekerasan saat meliput aksi unjuk rasa di Lapangan Renon, Kota Denpasar, pada Sabtu 30 Agustus 2025.
Penulis: Adrian Amurwonegoro | Editor: Putu Dewi Adi Damayanthi
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Wartawan Detikbali, Fabiola Dianira, yang menjadi korban intimidasi dan kekerasan diduga oleh aparat kepolisian resmi menempuh jalur hukum.
Melalui Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali, Nia sapaan karibnya melaporkan kejadian yang menimpanya ini ke Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Polda Bali.
Laporan tersebut akhirnya diterima Polda Bali setelah hampir 12 jam dari Sabtu 6 September 2025 pukul 15.00 WITA hingga Minggu 7 September 2025 pukul 02.14 WITA dini hari.
Laporan resmi diterima Polda Bai dengan nomor Laporan Polisi Nomor LP/B/636/IX/2025/SPKT/POLDA BALI tanggal 6 September 2025 dan Nomor LP/B/637/IX/2025/SPKT/POLDA BALI tanggal 7 September 2025.
Baca juga: HEBOH Jurnalis Diintimidasi oleh Oknum Aparat, Aliansi Jurnalis Independen: Kebebasan Pers Terancam
Koalisi Jurnalis Bali mendesak Kepolisian Daerah (Polda) Bali menindaklanjuti laporan dengan serius dengan mengusut secara tuntas.
Diketahui Nia mendapat perilaku intimidasi dan kekerasan saat meliput aksi unjuk rasa di Lapangan Renon, Kota Denpasar, pada Sabtu 30 Agustus 2025.
Ketua Bidang Advokasi YLBHI-LBH Bali, Ignatius Rhadite berharap agar Polda Bali objektif melihat setiap fakta dalam kasus ini meski terlapor sesama polisi.
“Dan pelaku dalam peristiwa ini turut mendapatkan pertanggungjawabannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, tidak terjadi impunitas,” kata Rhadite di Polda Bali, Minggu 7 September 2025 dini hari.
“Artinya pelaku ini tidak dibiarkan lepas begitu saja namun mendorong agar diberikan sanksi yang berat,” sambungnya.
Adapun pasal yang dilaporkan adalah Pasal 335 ayat (1) butir 1 KUHP dan Pasal 4 ayat (2) dan/atau ayat (3) jo. Pasal 18 ayat (1) UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers Pasal 10 ayat (1) huruf d dan f; Pasal 12 huruf e dan g; dan Pasal 13 huruf m Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Polri.
“Dalam hal ini melaporkan dugaan tindak pidana menghalang-halangi dan melakukan kekerasan terhadap aktivitas jurnalistik, pemaksaan dengan ancaman kekerasan atau kekerasan,” jelasnya.
“Serta sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses perangkat milik jurnalis serta pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh tiga orang personel Polri yang belum diketahui identitasnya,” jabar Rhadite.
Menurutnya, kasus ini perlu dilanjutkan ke ranah hukum karena tindakan kekerasan dan intimidasi terhadap jurnalis merupakan bentuk pelanggaran serius baik terhadap demokrasi dan kerja-kerja jurnalistik yang telah dilindungi oleh UU Pers Nomor 40 tahun 1999.
Ditegaskan dia kasus ini penting diselesaikan secara hukum untuk memutus mata rantai kekerasan yang dilakukan polisi kepada jurnalis.
Dalam laporan ini, Rhadite melampirkan sejumlah bukti tindakan intimidasi dan kekerasan polisi, yakni kartu pers Fabiola Dianira, surat tugas peliputan dan dua orang saksi.
Tim kuasa hukum juga melampirkan petunjuk berupa titik lokasi rekaman CCTV yang dapat menunjukkan peristiwa tindakan intimidasi dan kekerasan polisi.
Kordiv Gender dan Kemitraan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Denpasar, Ni Kadek Novi Febriani mengapresiasi keberanian Fabiola Dianira melaporkan tindakan intimidasi dan kekerasan yang diduga dilakukan oleh anggota Polri.
Lanjut Febri, kebebasan pers adalah kunci sebuah negara demokratis yang tidak dapat ditawar.
Hal yang dialami Fabiola Dianira menambah daftar panjang kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia.
Padahal, dalam kondisi politik-sosial yang bergejolak justru publik membutuhkan berita yang akurat, independen dan bisa dipercaya.
Pihaknya menilai aparat kepolisian seharusnya menjamin kebebasan pers.
Pasalnya, kekerasan dan intimidasi tak bisa dibiarkan begitu saja, karena kerja-kerja jurnalistik dilindungi oleh UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
“Pada Pasal 8 UU Pers disebutkan dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum. Maka adanya tindakan kekerasan dialami oleh jurnalis saat meliput aksi 30 Agustus adalah pelanggaran hukum dan demokrasi,” tegasnya.
AJI Kota Denpasar dengan tegas mengecam segala kekerasan dan intimidasi yang dialami jurnalis saat meliput aksi pada 30 Agustus lalu.
AJI Kota Denpasar juga menuntut Kapolda Bali mengusut dan menghukum aparat yang mengintimidasi jurnalis.
“Kami meminta polisi secara profesional mengungkap kasus kekerasan, juga menjamin kebebasan pers,” tandasnya.
Dikonfirmasi terpisah, Kepala Bidang Humas Polda Bali, Kombes Pol Ariasandy membenarkan laporan tersebut sudah diterima dan ditindaklanjuti sesuai prosedur yang berlaku.
“Laporan diterima dan akan ditindaklanjuti,” jelas Kombes Sandy. (ian)
Kumpulan Artikel Bali

Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.