Kisah Suatjana Mendigitalisasi Aksara Bali, Raih Penghargaan Bali Kerthi Nugraha Mahottama 2019
Dipl. Ing. I Made Suatjana terpilih menerima penghargaan Bali Kerti Nugraha Mahotama 2019
Penulis: Wema Satya Dinata | Editor: Irma Budiarti
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Pemerintah Provinsi Bali memberikan penghargaan kepada perorangan atau kelompok dan lembaga yang dinilai berjasa terhadap upaya pelestarian dan pemajuan bahasa, aksara, dan sastra Bali serangkaian perayaan Bulan Bahasa 2019.
Dipl. Ing. I Made Suatjana terpilih menerima penghargaan Bali Kerti Nugraha Mahotama yang diserahkan di Gedung Ksirarnawa, 28 Februari 2019 lalu.
Pria yang dikenal sebagai Programer Aksara Bali Simbar ini, dinilai telah berjasa melestarikan aksara Bali dengan melakukan digitalisasi terhadap aksara Bali.
“Kalau dilihat kegunaan Bali Simbar luar biasa karena mendasar dalam pengembangan aksara dan sastra Bali,” kata Suatjana saat ditemui Tribun Bali di rumahnya Jalan Zamrud No.10 Denpasar, Sabtu (2/3/2019).
Baca: Razia Lapas Kerobokan Temukan Bong Hingga Benda Tak Biasa Ini, Begini Komentar Kemenkumham Bali
Baca: 7 Hotel Murah Dekat Tanah Lot, Lokasi Strategis & Tarif Mulai Rp 150 Ribu
Bermula dari iseng dan kompetisi antar teman dalam bidang komputer, Suatjana, yang berlatar belakang pendidikan arsitek, merancang sebuah program yang bermanfaat dalam pelestarian budaya Bali.
Ia berpikir bahwa komputer adalah mesin canggih yang kelak suatu saat akan semakin maju, sehingga dikhawatirkan akan meninggalkan segala hal yang dianggap konvensional, seperti budaya.
Tidak ingin budaya Bali, khususnya bahasa Bali punah, karena diperkirakan jumlah penuturnya yang semakin sedikit, pria kelahiran Gadungan, 14 Mei 1947 ini merancang sebuah program yang memadukan unsur teknologi dengan budaya.
Selanjutnya ia memiliki sebuah ide untuk merancang sebuah program aksara Bali yang nantinya bisa terprogram pada komputer, yang selanjutnya dikenal dengan nama Bali Simbar.
Baca: Cocok untuk Backpacker! Ini 6 Tips Liburan Murah di Bali, Pilih Paket Liburan & Promo Tiket
Baca: Memahami Sejarah dan Makna Tradisi Perayaan Hari Raya Nyepi
Dimulai pada tahun 1983, Suatjana mulai mencoba merealisasikan rancangannya.
Bukan perkara mudah tentunya mengingat saat itu program komputer hanya berbasis DOS dengan font yang seadanya.
Tak hanya itu, mengubah huruf dari bentuk font biasa menjadi font aksara Bali yang asimetris juga mempunyai kerumitan tersendiri.
“Saya sudah memiliki komputer sejak tahun 1983. Sudah ada niat membuat font itu setelah membaca beberapa buku. Bagaimana bisa menampilkan bentuk huruf Bali. Pada awalnya huruf itu ditampilkan dalam titik-titik, dan titik-titik itu bisa diprogram,” terangnya.
Baca: Festival Ogoh-Ogoh yang Digelar ST Yuda Asmara Tekankan Peserta untuk Gunakan Bahan Ramah Lingkungan
Baca: Video Nurbaeny Jannah Menjawab Tudingan Istri Simpanan Hotman Paris, Mencuat Istilah Mendarah Daging
Dengan penuh keyakinan dan ketelitian, pada tahun 1988 Suatjana mulai mencoba membentuk huruf-huruf aksara Bali dengan garis putus-putus.
Ide tersebut berawal dari adanya program chiwriter, sebuah program yang berisi aneka simbol, seperti simbol integral pada matematika.
“Dari situ saya mengkhayal bagaimana caranya bisa menampilkan huruf Bali. Tahun 1988, ada sebuah program DOS yang bernama Chiwriter. Program ChiWriter bisa untuk membuat simbol-simbol. Terus tiang mencoba membuat huruf Bali dengan program Chiwriter itu,” tutur pria asal Desa Gadungan Kecamatan Selemadeg Timur, Tabanan ini.