Liputan Khusus
Ngamuk Saat Kuota Internetnya Habis, Begini Ciri-ciri Orang Kecanduan Gadget, Mirip Pecandu Narkoba
Saat ini hampir semua orang menggunakan smartphone alias ponsel pintar. Namun kenapa ada yang kecanduan sampai depresi, gila, bahkan hendak bunuh
Penulis: I Wayan Erwin Widyaswara | Editor: Ady Sucipto
“Jadi kompetisi dari gagdet harus dibangun dari keluarga.
Misalnya dengan cara ngomong lebih banyak, kebutuhannya dipenuhi, ditanya kebutuhannya, jangan berikan kebutuhan dari orangtuanya,” kata Basudewa.
Ia mencontohkan. Misalnya si anak ingin bertemu dengan temannya, tapi malah temannya diusir oleh orangtuanya karena dicurigai aneh-aneh.
Harusnya, menurut Basudewa, orangtua harus mengenal terlebih dahulu siapa teman-teman anaknya.
“Komunikasi itu sangat penting dengan anak. Sebagian besar yang pindah ke gadget karena mereka merasa kehilangan tokoh orangtua.
Jadinya gadget dianggap tokoh aman buat dia,” ujar Basudewa.
Basudewa juga menjelaskan, dalam teori otak manusia, ada namanya pusat hadiah, atau reward sistem.
Area otak tersebut biasanya memberi hadiah setelah adanya upaya atau kerja keras yang dilakukan manusia.
“Kalau kita kerja keras dapat hadiah buat kita senang. Nah pada anak-anak yang mengalami ini, pusat senangnya itu sudah terpacu hanya pada satu itu saja.
Jadi dia susah menyetop kehendaknya, kehilangan kendali impulsnya. Akhirnya dia ya berjudi di situ dan itu pusat nikmatnya dia, pusat kendali dia. Jadi itu cara kerjanya. Kita patahkan, saingannya diubah reward-nya,” jelas Basudewa.
Dalam menangani mereka yang mengalami kecanduan gadget, ada berberbagai metode.
Biasanya, kata Basudewa, dokter jiwa akan melihat terlebih dahulu, apakah pasien ada gangguan depresi, cemas, dan lain-lain.
“Kalau ada kami kasih anti cemas, anti obsesi, misalnya kalau dia mengalami gangguan cemas sangat ekstrim, obati itu dulu.
Setelah agak stabil tenang dengan pengobatan medis, baru diintervensi: orangtuanya didekati. Ini perlu dukungan luar biasa,” jelas Basudewa. (*)