Ganti Rugi Lahan Shortcut Singaraja-Mengwitani Tak Sesuai, Imam Keberatan Serahkan Lahan Miliknya
Nilai ganti rugi lahan terdampak dari pembangunan jalan baru batas kota Singaraja-Mengwitani (shortcut titik 7-8 dan 9-10) yang ada di wilayah Desa
Penulis: Ratu Ayu Astri Desiani | Editor: Ady Sucipto
TRIBUN-BALI.COM, SINGARAJA - Nilai ganti rugi lahan terdampak dari pembangunan jalan baru batas kota Singaraja-Mengwitani (shortcut titik 7-8 dan 9-10) yang ada di wilayah Desa Wanagiri, Gitgit, dan Pegayaman, Kecamatan Sukasada, Buleleng, telah diumumkan, Minggu (29/12), di Gedung Kesenian Gede Manik Singaraja.
Hasilnya, dari pengumuman ini ada beberapa warga yang terdampak merasa tidak puas dengan penilaian yang diberikan oleh tim appraisal, sehingga mereka enggan menyerahkan lahan miliknya kepada pemerintah.
Dari pantauan Tribun Bali, salah satu warga yang merasa keberatan dengan nilai ganti rugi yang diberikan oleh tim appraisal adalah Imam Muhajir.
Pria berusia 62 tahun ini mengatakan lahan miliknya yang terdampak dari pembangunan shortcut titik 7-8 dan 9-10 ini seluas 1,5 are. Lahan tersebut digunakan oleh Muhajir sebagai perkebun cengkih.
Di atas lahan terdampak itu ada sebanyak 15 pohon cengkih.
Berdasarkan penilaian tim appraisal, nilai ganti rugi terhadap lahan milik Muhajir hanya sebesar Rp 30 juta.
Ditambah total ganti rugi untuk 15 pohon cengkihnya Rp 15 juta.
Padahal, sebut Muhajir, harga pasaran tanah di daerah miliknya, yakni di Dusun Kubu, Desa Pegayaman, mencapai Rp 100 juta per arenya.
Demikian dengan pohon cengkih, setiap pohonnya sejatinya mampu menghasilkan keuntungan mencapai Rp 2,8 juta per setiap musim panen.
Sementara tim appraisal menyebut jika nilai ganti rugi untuk pohon cengkihnya hanya Rp 1 juta per pohonnya.
Merasa jika nilai ganti rugi yang diberikan oleh tim appraisal sangat jauh dari harga pasaran, Muhajir pun mengaku enggan menandatangani surat berita acara, kendati nanti harus berurusan dengan pengadilan (konsinyasi).
"Saya sangat keberatan karena harganya tidak sesuai. Sekarang lahan saya digusur, dibayar hanya Rp 30 juta per are oleh pemerintah. Kemudian saya mau mencari lahan di tempat lain, mana ada yang harganya Rp 30 juta.
Harga tanah yang diganti rugi ini jauh sekali dengan harga pasaran. Mau bagaimana lagi, sudah tidak bisa protes. Saya sih mau-mau saja ke pengadilan," keluhnya.
Seorang warga pemilik lahan di wilayah Dusun/Desa Gitgit, bernama Gede Sumadana (42) juga mengeluh terkait nilai harga lahan yang diberikan oleh tim appraisal.
Namun tak seperti Muhajir, ia memilih pasrah.