Di Markas Besar UNESCO, Guru Besar Pertanian Unud Usulkan Agar Status WBD Subak Dicabut

Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Udayana (Unud), I Wayan Windia rupanya telah mengusulkan agar status Warisan Budaya Dunia (WBD) subak

Penulis: I Wayan Sui Suadnyana | Editor: Wema Satya Dinata
Tribun Bali/I Wayan Sui Suadnyana
Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Udayana (Unud), I Wayan Windia dan akademisi Fakultas Hukum Unud, Anak Agung Gede Oka Parwata menjadi narasumber dalam diskusi bertajuk "Subak Sebagai Warisan Budaya Dunia Apa Kabar?" di Kampus Unud Sudirman, Denpasar, Minggu (15/11/2020). Diskusi ini lahir atas kolaborasi antara Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Pertanian dengan BEM Fakultas Hukum Unud 

"Saya ikut membuat dokumennya itu. Judulnya management action. Janjinya membuat Badan Pengelola Warisan Budaya Dunia. Endak ada sampai sekarang. Sudah delapan tahun jadi Warisan Budaya Dunia," kata dia.

Baca juga: Tim Basket Bali United Bakal Launching Awal Desember 2020, Pelatih Teco: Hiburan Baru Warga Bali

Baca juga: Geser Tahta Marquez, Mir Kunci Gelar Juara Dunia di Tengah Kemenangan Morbidelli di MotoGP Valencia

Baca juga: Nagita Slavina Puji Kecantikan Istri Sule Nathalie Holscher: Elegan, Cantik Banget

Windia sendiri mengaku sudah pernah menghadap Gubernur Bali agar Badan Pengelola Warisan Budaya Dunia segera dibentuk.

Namun ketika menghadap, dijelaskan bahwa itu merupakan urusan pemerintah kabupaten.

Sementara ketika menghadap pemerintah kabupaten, mereka mengatakan bahwa di tingkat provinsi belum ada sehingga belum bisa dibuat di tingkat kabupaten.

Padahal, jika dibentuk Badan Pengelola Warisan Budaya Dunia, nantinya organisasi itu yang bakal memperjuangkan hak-hak subak.

 "Kalau ada badan pengelola, maka dia akan berjuang untuk supaya petani diperhatikan," tuturnya.

Kemudian, janji kedua kepada UNESCO yakni harus ada prioritas pembangunan di subak yang dinobatkan sebagai WBD.

 Upaya itu dilakukan agar masyarakat yang berprofesi sebagai petani bisa senang dan sejahtera.

Tak hanya itu, juga harus ada jasa ekosistem kepada para petani.

Namun sayangnya hal ini juga tidak berjalan sesuai dengan janji kepada UNESCO.

Padahal, di Subak Jatiluwih sendiri masuk dana sekitar Rp 12 miliar setiap tahun dari kunjungan wisatawan.

Meskipun mendapatkan penghasilan yang cukup besar, nyatanya subak hanya mendapatkan sebesar tujuh persen saja dari pendapatan tersebut.

Windia pun akhirnya bersikap atas kecilnya pembagian pendapatan yang didapatkan oleh subak dari hasil kunjungan wisatawan.

Ia mengusulkan agar subak mendapatkan dana itu sebanyak 50 persen dan petaninya berikan gaji.

Dengan upaya ini, keberadaan persawahan diharapkan bisa lestari karena tidak ada petani yang memilih untuk menjual atau mengkonfersi lahannya.

Halaman
1234
Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved