Serba Serbi
Sugihan Jawa Bertepatan dengan Tilem Kalima, Apa Persembahan yang Dihaturkan?
Banyak orang yang mengatakan jika Sugihan Jawa hanya dirayakan oleh orang Bali keturunan Majapahit
Penulis: Putu Supartika | Editor: Karsiani Putri
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR- Banyak orang yang mengatakan jika Sugihan Jawa hanya dirayakan oleh orang Bali keturunan Majapahit, sedangkan Sugihan Bali dirayakan oleh keturunan Bali Asli.
Benarkah demikian?
Nyatanya tidak.
Enam hari sebelum Hari Raya Galungan disebut dengan Sugihan Jawa.
Baca juga: Godaan Sang Hyang Kala Tiga Sebelum Galungan Menurut Kepercayaan Hindu
Baca juga: Galungan Sebentar Lagi, Segera Siapkan Sarana Upakaranya
Sugihan Jawa atau Sugihan Jaba jatuh setiap hari Kamis (Wraspati) Wage wuku Sungsang dimana untuk kali ini, yaitu Kamis 4 November 2021.
Sugihan Jawa ini berasal dari bahasa Sansekerta dari kata Sugi dan Jaba.
Sugi artinya membersihkan dan Jaba artinya luar.
Sehingga Sugihan Jawa berarti pembersihan alam semesta atau makrokosmos atau bhuana agung.
Pembersihan bhuana agung ini dilakukan dengan membersihkan pelinggih, pura, merajan, maupun lingkungan sekitar.
Dihaturkan pula canang pengreresik dan canang raka di merajan maupun Paibon.
Dalam Lontar Sundarigama disebutkan:
Sungsang, rehaspati wage ngaran parerebwan, sugyan jawa kajar ing loka, katwinya sugyan jawa ta ngaran, apan pakretin bhatara kabeh arerebon ring sanggar mwang ring parhyangan, dulurin pangraratan, pangresikan ring bhatara, saha puspa wangi.
Kunang wwang wruh ing tatwa jana, pasang yoga, sang wiku anggarga puja, apan bhatara tumurun mareng madyapada, milu sang dewa pitara, amukti banten anerus tekeng galungan.
Artinya:
Kamis Wage Sungsang disebut dengan parerebon atau yang lebih dikenal dengan Sugihan Jawa.
Dinamakan sugihan jawa karena merupakan hari suci bagi para Bhatara untuk melakukan rerebu di sanggah dan parahyangan, yang disertai pangraratan dan pembersihan untuk Bhatara dengan kembang wangi.
Orang yang memiliki kemampuan dalam hal tatwa akan melakukan yoga semadhi, pendeta akan melakukan pemujaan tertinggi karena Bhatara pada hari ini turun ke dunia diiringi oleh para Dewa Pitara untuk persembahan hingga Galungan nanti.
Baca juga: Jerinx SID Jadi Duta Anti Narkoba, Berawal dari Lagu Barisan Badai yang Dicipta di LP Kerobokan
Baca juga: KPK Periksa Dewa Nyoman Wiratmaja Besok, Kasus Dugaan Suap Pengurusan DID Tabanan Tahun 2018
Rerebu atau marerebon ini bertujuan untuk menetralisir kekuatan negatif yang ada pada alam semesta atau Bhuana Agung.
Untuk persembahannya lebih lanjut dikatakan:
Pakreti nikang wwang, sasayut mwang tutwang, pangarad kasukan ngaranya.
Sesajennya, yaitu sesayut tutwan atau pangarad kasukan.
Selain itu, Sugihan Jawa ini juga bertepatan dengan Tilem Kalima.
Tilem merupakan perayaan bulan gelap sedangkan Anggara Kasih Dukut dirayakan setiap Selasa Kliwon wuku Dukut.
Menurut Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana, Putu Eka Guna Yasa, pemujaan kepada gelap atau Tilem ditujukan kepada Dewa Siwa.
Ia mengatakan, dalam Jnana Sidantha disebutkan di dalam matahari ada suci, di dalam suci ada siwa, di dalam siwa ada gelap yang paling gelap.
Baca juga: Karakter Monyet di Pura Uluwatu Mulai Berubah, Sumerta: Masuk ke Pura Hingga Ganggu Umat Sembahyang
Baca juga: Mitos Bunga Gumitir Tidak Boleh Dipakai Sembahyang
Hal itulah yang menyebabkan tilem mendapatkan pemuliaan.
Guna mengatakan di daerah Bangli ada Pura Penileman, dimana setiap Tilem dilakukan pemujaan di sana.
"Di Pura Penileman dilakukan pemujaan kepada Siwa, karena ada warga masyarakat yang nunas (meminta) pengidep pati atau sarining taksu jelas sudah Siwa. Bukti arkeologis ada arca Dewa Gana yang merupakan putra Siwa,” katanya.
Sehingga dalam konteks kebudayaan di Bali yang dimuliakan bukan bulan terang saja atau Purnama, tapi gelap yang paling gelap juga dimuliakan.
Baca juga: Godaan Sang Hyang Kala Tiga Sebelum Galungan Menurut Kepercayaan Hindu
Baca juga: Galungan Sebentar Lagi, Segera Siapkan Sarana Upakaranya
Sementara itu, dalam buku Sekarura karya IBM Dharma Palguna halaman 9 dikatakan kepada kita para Guru Kehidupan (dan Guru Kematian) mengajarkan agar menghormati gelap, tidak kurang dari hormat pada terang.
Hormat pada gelapnya bulan mati (Tilem) tidak kurang dari hormat kita pada terang bulan purnama.
Baca juga: Masa Karantina Wisman Dikurangi, PHRI Badung Optimis Kunjungan Capai 3 Ribu Perhari
Baca juga: Barang Bukti Rp2 Miliar Dimusnahkan, BNNP Bali Gelar Pemusnahan BB Tangkapan Narkoba
Disebutkan lebih lanjut dalam buku itu pada halaman 10, pembelaan Mpu Tan Akung kepada gelap, yaitu gelap tidak harus dihindari atau diusir dengan mengadakan terang buatan.
Tapi dengan memasukinya, menyusupinya, meleburkan diri di dalamnya, atau memasukkannya ke dalam diri.
Saat Tilem atau bulan mati, umat Hindu wajib untuk mengenyahkan segala dosa, noda, dan kekotoran dari dalam diri.
Dalam lontar Sundarigama juga disebutkan.
Mwang tka ning tilem, wenang mupuga lara roga wighna ring sarira, turakna wangi-wangi ring sanggar parhyangan, mwang ring luhur ing aturu, pujakna ring sanggar parhyangan, mwang ring luhur ing aturu, pujakna ring widyadari widyadara, sabhagyan pwa yanana wehana sasayut widyadari 1, minta nugraha ri kawyajnana ning saraja karya, ngastriyana ring pantaraning ratri, yoga meneng, phalanya lukat papa pataka letuh ning sarira.
Baca juga: Karakter Monyet di Pura Uluwatu Mulai Berubah, Sumerta: Masuk ke Pura Hingga Ganggu Umat Sembahyang
Baca juga: Bija Setelah Sembahyang, Berikut Maknanya Dalam Hindu Bali
Artinya:
Pada saat Tilem, wajib menghilangkan segala bentuk dosa, noda, dan kekotoran dalam diri.
Dengan menghaturkan wangi-wangian di Sanggar atau di parahyangan, dan di atas tempat tidur yang dipersembahkan kepada bidadari dan bidadara.
Akan lebih baik jika mempersembahkan 1 buah sesayut widyadari untuk memohon anugerah agar terampil dalam melaksanakan segala aktivitas.
Pemujaan dilakukan tengah malam dengan melakukan yoga, atau hening.
Baca juga: Karakter Monyet di Pura Uluwatu Mulai Berubah, Sumerta: Masuk ke Pura Hingga Ganggu Umat Sembahyang
Baca juga: Mitos Bunga Gumitir Tidak Boleh Dipakai Sembahyang
Pahalanya adalah segala noda dan dosa yang ada dalam diri teruwat.
(*)