Berita Bali
Mengenang Tragedi Bom Bali, Dokter Alit Terpaksa Makan di Atas Mayat, Keluarga Korban Berjuang Hidup
Tragedi Bom Bali pada 12 Oktober 2002, malam itu korban terus berdatangan ke rumah sakit hingga hari ketiga.
Penulis: Putu Yunia Andriyani | Editor: Putu Dewi Adi Damayanthi
Sementara itu, tragedi Bom Bali pada 2002 menyisakan kenangan yang pahit pada keluarga Ni Luh Erniati.
Harapannya hidup menua bersama suaminya pun sirna karena ganasnya ledakan Bom Bali di Sari Club waktu itu.
Suami Erniati bernama Gede Badrawan saat itu sedang bekerja shift malam di Sari Club saat ledakan Bom Bali terjadi.
Gede meninggalkan satu orang istri dan dua orang anak laki-laki yang pada saat itu anak pertamanya berumur 9 tahun dan anak keduanya berusia 1,5 tahun.
“Kalau sekarang anak-anak masih kuliah yang pertama baru mau wisuda besok S1 di Universitas Bali Internasional ambil Analis Kesehatan. Yang kedua masih kuliah semester 6 ambil Akuntansi di Universitas Warmadewa,” kata Erni, Selasa 11 Oktober 2022.
Ketika kejadian tersebut, sebetulnya ia sudah mendengar suara ledakan yang amat sangat keras di malam hari itu ketika ia dan anak-anaknya akan tidur.
Saat itu ia dan suaminya tinggal di kos-kosan di Tuban, Kuta dan cukup dekat dengan TKP Bom Bali yakni Sari Club.
Bahkan katanya, tak terbersit sekalipun itu merupakan suara ledakan sebuah bom.
Ia mengira itu sebuah gardu listrik yang meledak.
“Setelah selang beberapa lama teman-teman kos yang bareng tinggal di sana mereka pada pulang dan mengatakan bahwa ada bom di Sari Club. Kebetulan suami saya bekerja malam karena bukanya memang malam saja,” kata Ketua Umum Yayasan Penyintas Indonesia ini.
Dari kejadian tersebut, wanita yang berasal dari Desa Les Tejakula ini mengatakan, suaminya baru dapat diidentifikasi selama 4 bulan setelahnya.
Jenazah suaminya juga sudah tidak utuh.
Ketika ditemukan jenazah suaminya hanya tersisa 70 persen saja.
Dalam 4 bulan itu ia menunggu bahkan kadang berpikir kalau tiba-tiba suaminya datang dan ada di depan kosnya untuk pulang.
“Selama 4 bulan menunggu hingga akhirnya saya ditelepon oleh dokter forensik di RSUP Sanglah yang mengatakan bahwa suami saya sudah terindentifikasi. Saya menunggu 4 bulan dari kejadian menunggu informasi. Ketika ditelepon dikatakan seperti itu, saya tidak bisa bicara. Lama saya bisa merespon dokter. Akhirnya satu kata saya bisa ucapkan gimana kondisi suami saya, Dok. Dan dokter mengatakan bahwa kondisinya 70 persen,” paparnya.
“Saya ketemu sama suami pertama kali di Sari Club, lalu bareng bekerja, pacaran, kemudian menikah. Setelah menikah kan kami tidak boleh di satu tempat kerja. Jadi saya yang keluar dan pindah tempat kerja lain. Tragis banget ya. Saya ketemu di sana pertama kali, saya harus kehilangan di sana juga dengan cara demikian,” ucapnya.