Berita Bali

Jadi Saksi Hidup Pembantaian 1965-1966, Guru Besar Bagus Wirawan Bercerita, Simak Ulasannya

Sebab dari peristiwa berdarah ini, ribuan nyawa melayang akibat pembantaian massal yang terjadi pada tahun 1965-1966 di Indonesia, termasuk di Bali.

Penulis: Putu Yunia Andriyani | Editor: Anak Agung Seri Kusniarti
net
Ilustrasi tragedi G 30 S/PKI - Peristiwa 1965-1966 merupakan salah satu peristiwa, yang diakui sebagai pelanggaran HAM berat. Sebab dari peristiwa berdarah ini, ribuan nyawa melayang akibat pembantaian massal yang terjadi pada tahun 1965-1966 di Indonesia, termasuk di Bali. Tribun Bali kemudian menghubungi salah satu saksi hidup, saat peristiwa 1965-1966 yang berasal dari Bali. Ia adalah Prof. Dr. A A Bagus Wirawan, S.U., Guru Besar purna tugas dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana. 

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Peristiwa 1965-1966 merupakan salah satu peristiwa, yang diakui sebagai pelanggaran HAM berat.

Sebab dari peristiwa berdarah ini, ribuan nyawa melayang akibat pembantaian massal yang terjadi pada tahun 1965-1966 di Indonesia, termasuk di Bali.

Tribun Bali kemudian menghubungi salah satu saksi hidup, saat peristiwa 1965-1966 yang berasal dari Bali.

Ia adalah Prof. Dr. A A Bagus Wirawan, S.U., Guru Besar purna tugas dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana.

Prof. Wirawan, sapaannya, mengatakan peristiwa ini sudah dimulai sejak tahun 1960an ketika Soekarno membubarkan dua partai besar di Indonesia.

Baca juga: Presiden Jokowi Akui Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu, Korban Semanggi I Sebut Pencitraan!

Baca juga: Temuan Komnas HAM Terkait Tragedi Kanjuruhan: PSSI Langgar Aturan FIFA

Prof. Wirawan - Tribun Bali kemudian menghubungi salah satu saksi hidup, saat peristiwa 1965-1966 yang berasal dari Bali.

Ia adalah Prof. Dr. A A Bagus Wirawan, S.U., Guru Besar purna tugas dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana.

Prof. Wirawan, sapaannya, mengatakan peristiwa ini sudah dimulai sejak tahun 1960an ketika Soekarno membubarkan dua partai besar di Indonesia.
Prof. Wirawan - Tribun Bali kemudian menghubungi salah satu saksi hidup, saat peristiwa 1965-1966 yang berasal dari Bali. Ia adalah Prof. Dr. A A Bagus Wirawan, S.U., Guru Besar purna tugas dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana. Prof. Wirawan, sapaannya, mengatakan peristiwa ini sudah dimulai sejak tahun 1960an ketika Soekarno membubarkan dua partai besar di Indonesia. (Istimewa)

 

Partai itu adalah PSI (Partai Sosialis Indonesia), dan Partai Masyumi (Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia).

Dari situlah kemudian muncul kekuatan baru, yaitu PKI (Partai Komunis Indonesia) yang sebelumnya memiliki kekuatan kecil sebagai partai.

Bubarnya dua partai besar oleh presiden pertama Indonesia, membuat kekuatan PKI semakin besar.

Meskipun saat itu tidak ada pemilihan umum lagi, namun pada kenyataannya hal itu tidak mengusik kekuatan PKI.

PKI justru semakin berjaya dengan penambahan anggota dan peresmian kader-kadernya di mana-mana.

Kondisi ini terjadi hampir di seluruh Indonesia, termasuk di Bali pada tahun 1960an hingga tahun 1964.

Puncaknya di Bali terjadi konflik baik mental dan fisik, karena saling caci maki dan singgung menyinggung antara PKI dan PNI (Partai Nasional Indonesia).

Di Bali, kedua partai ini memiliki kekuatan yang besar sehingga pengaruh perselisihan keduanya berpengaruh ke lingkungan masyarakat.

“Simpatisan anggota PKI dan PNI ini banyak sekali, belum lagi PNI berkoalisi dengan NU di Bali.

Sumber: Tribun Bali
Halaman 1/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved