Berita Denpasar

Mohon Kerahayuan Jagat, Parade Imlek 2023 Meriahkan Jalan Gajah Mada Denpasar Bali

Pada Senin, 23 Januari 2023 digelar ngelawang atau parade Imlek di kawasan Jalan Gajah Mada Denpasar.

Supartika/Tribun Bali
Pawai Imlek - Pelaksanaan pawai Imlek di Jalan Gajah Mada Denpasar, Senin (23/1). Pawai menampilkan akulturasi kesenian Tionghoa dan Bali. 

Menurut penuturan salah seorang tetua estinis Tionghoa, Sujadi Prasetio atau Tio Sing Khoei (89), etnis Tionghoa yang menetap di Gajah Mada dulunya datang dari Lombok.

Setelah itu beberapa dari mereka merantau dan menempati wilayah Kuta, Badung. Dari Kuta inilah mereka kemudian mulai datang ke kawasan Gajah Mada termasuk Jalan Kartini hingga ke Jalan Gunung Agung Denpasar.

“Waktu tahun 1920-an awal saya kira di Denpasar ini belum berkembang betul (etnis Tionghoa). Orangtua saya itu di Lombok dulu membuat pabrik beras di sana. Di seputaran Gajah Mada waktu itu masih alang-alang,” kata Tio.

Pada Senin, 23 Januari 2023 digelar ngelawang atau parade Imlek di kawasan Jalan Gajah Mada Denpasar.
Pada Senin, 23 Januari 2023 digelar ngelawang atau parade Imlek di kawasan Jalan Gajah Mada Denpasar. (Supartika/Tribun Bali)

Menurutnya, dulu Jalan Gajah Mada belum bernama Gajah Mada. Akan tetapi sampai saat ini masih belum ditemukan apa nama kawasan tersebut. “Sudah saya tanya yang tua, belum juga ada yang tahu. Setelah berkembang baru namanya Gajah Mada,” katanya.

Saat pindah dari Kuta, orangtuanya membawa hasil bumi ke Gajah Mada, mulai dari kopra, bawang putih, juga kedelai. Ia pun menuturkan, saat awal perkembangannya, wilayah Jalan Gunung Agung merupakan persawahan. Orangtuanya pun sangat dekat dengan Puri Pemecutan kala itu.

“Jadi Jalan Gunung Agung ada daerah padi tapi tidak ada tempat mau di bawa ke mana. Orangtua saya lalu mendirikan pabrik beras di sana. Besar sekali, tapi kurang dari 1 hektare. Lalu dibuatlah jalan yang disumbangkan oleh Cokorda Pemecutan. Orangtua saya sama raja baik sekali, waktu itu sama Cokorda Gembrong,” tuturnya.

Ia pun menuturkan bahwa kala itu, di kiri dan kanan Jalan Gunung Agung selalu mengepul asap pembakaran sekam padi. Sementara itu, di kawasan Jalan Gajah Mada hingga Kartini berkembang pertokoan milik etnis Tionghoa. Ada ciri khas dari masing-masing suku yang menempati wilayah ini, dimana Suku Kek kebanyakan memiliki toko kelontong.

Sementara Suku Hokkian, dan Suku Tiociu kebanyakan memiliki penghasilan dari hasil bumi.
Ia pun menyebut bahwa Suku Kek merupakan orang pintar dan banyak juga yang menjadi guru. Bahkan menurut pengakuannya, orangtuanya memiliki 6 toko di kawasan Jalan Kartini. Namun setelah Jepang datang, semua toko miliknya diambil oleh Jepang.

“Jepang datang, Jepang yang pakai dan kita tidak pernah menikmati rumah-rumah di sana (Jalan Kartini). Saya ingat waktu itu, karyawan orangtua saya semua pernah ditempeleng Jepang karena tidak memberi hormat,” kenangnya. (sup)

Sudah Enam Generasi di Gajah Mada

SUJADI Prasetio atau Tio Sing Khoei menyebutkan, etnis Tionghoa di kawasan Gajah Mada mengalami masa kejayaan tahun 1940 sampai 1950-an. Dimana mayoritas kawasan ini menjadi tempat tinggal warga etnis Tionghoa termasuk usaha mereka. Namun yang unik, menurut Tio, antara Pasar Badung dan etnis Tionghoa yang berjualan di kawasan Gajah Mada maupun Kartini tak pernah ada persaingan.

“Kami saling melengkapi dan tidak ada persaingan,” katanya.
Setelah itu, banyak permasalahan yang timbul dan beberapa toko mulai dijual. Penduduk etnis Tionghoa di sana pun berpencar ke beberapa daerah dan banyak juga yang kembali ke Kuta. “Jadi kebanyakan mencar mereka, sebagian ke Kuta lagi, jadinya Kuta kan ramai sekarang dengan etnis Tionghoa. Kalau dihitung-hitung di sini hanya tersisa 30 sampai 40 persen warga Tionghoa,” paparnya.

Kejadian yang paling buruk dialami saat masa pemerintahan Orde Baru. Dimana saat itu banyak pemuda etnis Tionghoa yang kembali ke China karena di sini tidak diijinkan sekolah. Mereka juga mengganti nama, termasuk nama toko agar tak menggunakan nama yang berbau China. “Sekolah Tionghoa ditutup dan aset mereka banyak diambil. Kelenteng juga tutup dan banyak pemuda yang pulang ke China,” katanya.

Setelah pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) komunitas ini mulai bisa bernapas lega. Usaha mereka pun mulai menggeliat hingga saat ini. Namun, karena masa pengekangan tersebut, menurut Tio banyak anak muda etnis Tionghoa yang hampir melupakan tradisi leluhurnya.

“Karena ada yang tua-tua, makanya adat istiadat dari leluhur kami masih tetap bertahan,” paparnya.

Halaman
123
Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved