OTT di Bali

Jalani Sidang Tipikor Perdana Ketut Riana Keberatan Didakwa Dugaan Kasus Pemerasan Rp10 Miliar

Bendesa Adat Berawa, Badung, I Ketut Riana menjalani sidang perdana di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Denpasar, Kamis (30/5).

Penulis: Putu Candra | Editor: Ni Ketut Dewi Febrayani
Putu Candra-Tribun Bali
Bendesa Adat Berawa, Ketut Riana saat tiba di Pengadilan Tipikor Denpasar untuk menjalani sidang perdana. 

Saat diumumkan oleh pihak Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bali, Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Ketut Riana terkait dugaan jual beli lahan oleh seorang pengusaha di wilayah Desa Berawa, Tibubeneng, Kuta Utara.

Namun pada dakwaan yang telah dibacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) perkara yang menjerat Ketut Riana soal pengurusan izin investasi.

Baca juga: UPDATE OTT, Bendesa Adat Berawa Keberatan, Didakwa Dugaan Kasus Pemerasan Rp 10 Miliar

"Awalnya kasus ini diumumkan terkait jual beli lahan di Desa Adat Berawa. Saya cek ternyata tidak ada dilakukan jual beli lahan. Di dakwaan kemudian berubah menjadi soal pengurusan izin investasi. Jual beli lahannya hilang," kata Pasek Suardika ditemui usai sidang di Pengadilan Tipikor Denpasar, Kamis.

Mantan wartawan ini pun mengecek dan mendapat fakta bahwa lahan yang akan digunakan oleh pengusaha atau investor adalah milik Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali.

"Naluri saya sebagai wartawan, saya cek ternyata lokasi itu tanah Pemprov Bali. Tanah pemprov Bali ini dikerjasamakan, dan saya akan ungkap ada motivasi korupsi yang lebih besar di dalamnya," ungkapnya.

Didesak siapa yang mengkerjasamakan, Pasek Suardika mengatakan, akan mengungkapkannya nanti di persidangan.

Pihaknya menduga ada dugaan praktik korupsi yang nilainya cukup fantastis terkait kerja sama memanfaatkan lahan Pemprov Bali.

"Ada dugaan praktik korupsi yang nilainya cukup besar. Kita jangan lihat hanya PT Berawa Bali Utama saja. Itu satu kasus tanah Pemprov Bali yang dikerjasamakan. Berapa duit yang masuk ke Pemprov Bali, berapa duit yang dikerjasamakan antara pengusaha dengan pengusaha asing. Itu nilainya puluhan miliar untuk 1 case. Jangan-jangan beliau (terdakwa) ini dihadirkan untuk menjadi martir untuk mengetahui praktik tanah-tanah Pemprov Bali yang menurut data perkiraan saya jumlahnya cukup besar," kata Pasek Suardika.

Tim penasihat hukum terdakwa Ketut Riana mengajukan permohonan penangguhan penahanan. Surat permohonan disampaikan setelah tim JPU membacakan surat dakwaan di Pengadilan Tipikor.

"Sederhana saja. Apa bedanya pejabat imigrasi yang di-OTT bisa ditangguhkan penahanannya. Kenapa bendesa adat (terdakwa) tidak bisa ditangguhkan," kata Pasek Suardika.

"Malah kami takutnya yang pegawai negeri itu sudah pindah jabatan sudah pindah dari Bali. Masih selamat. Masak hukum kita begitu ditunjukkan di Bali. Bendesa adat kencengin yang imigrasi dilonggarin. Tidak boleh begitu. Biar nanti publik melihat," sambung Pasek Suardika.

Baca juga: UANG Tunai Rp50 Juta Sudah Diserahkan ke Bendesa Adat Berawa, Ini Kronologis Pemerasan Rp 10 Miliar!

Di sisi lain, Pasek Suardika menyesalkan perlakuan Kejati Bali dalam penanganan terdakwa. Di mana keluarga Ketut Riana dilarang menjenguk saat ditahan di Lapas Kelas IIA Kerobokan.

"Yang paling saya sesalkan, ketika beliau (terdakwa) ditangani di kejaksaan. Keluarganya tidak boleh membesuk ke lapas tanpa izin kejaksaan. Kami harus ribut di lapas untuk penasihat hukum bisa ketemu dengan terdakwa. Pertunjukan apa ini, tidak boleh begitu. Bendesa adat dibegitukan, pejabat imigrasi ditangguhkan. Enak sekali," ungkapnya.

Terdakwa Ketut Riana baru bisa atau diizinkan dijenguk oleh keluarga saat berkas telah dilimpahkan ke pengadilan.

"Ini fakta, silakan cek ke lapas. Pejabat lapas semua mengatakan harus ada izin dari kejaksaan. Di KUHAP tidak ada mengatur begitu. Itu hak terdakwa. Zaman reformasi kok masih ada yang begini. Jaksa Agung harus melihat kejadian ini di Bali," ujar Pasek Suardika.

Halaman
123
Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved