Berita Karangasem

PERJALANAN TERJAL Bocah 10 Tahun di Karangasem, Ayah Meninggal, Ibu Enggan Urus Putu dan 2 Adiknya

PERJALANAN TERJAL Bocah 10 Tahun di Karangasem, Ayah Meninggal, Ibu Enggan Urus Putu dan 2 Adiknya

Tribun Bali
Tribun Bali saat mengunjungi kediaman tiga anak yatim di Desa Antiga Karangasem yang dirawat oleh kakek dan neneknya. 

TRIBUN-BALI.COM, AMLAPURA - Keterbatasan tidak menjadi halangan bagi anak bernama Putu Eka Kusumadewi (10), bocah yatim di Karangasem.

Setiap hari, anak ini menyusuri jalan berbukit menuju sekolah.

Di tangan anak ini, sebuah senter kecil menuntun langkahnya ke sekolah.

Di pundak anak ini ada harapan besar untuk menimba ilmu di sekolah, bukan hanya untuk dirinya, tapi juga untuk dua adiknya yang masih kecil, Kadek Ayu Wulandari (7) dan I Gede Ngurah Laksmana Suputra (4,5).

Baca juga: 2 ORANG MENINGGAL! Mitsubishi Expander Masuk Jalur Berlawanan, Hantam Enam Motor Tanpa Ampun

Eka baru duduk di bangku kelas V sekolah dasar, tapi beban yang dipikulnya jauh lebih besar dari  anak seusianya.

Sejak sang ayah meninggal pada 2021 akibat kecelakaan, ia dan kedua adiknya tinggal bersama kakek-neneknya.

Mereka tinggal di sebuah rumah sederhana di Banjar Ketug, Desa Antiga, Kecamatan Manggis, Karangasem

Sementara sang ibu, memilih pulang ke rumah asalnya dan membiarkan ketiga anak itu tinggal bersama kakek dan neneknya.

Baca juga: KEBAHAGIAAN SIRNA SEKEJAP Di Jalan Gunung Soputan Denpasar, Tewas 3 Hari Setelah Ulang Tahun

"Saya ingin menjadi perawat, agar bisa menolong orang sakit," ungkap anak yatim itu dengan polosnya.

Kata-kata itu seakan menunjukan betapa besar harapan anak yatim ini meski dengan berbagai keterbatasan, ia tetep memiliki cita-cita tinggi untuk dapat membantu sesama.

Putu Eka tinggal di rumah sederhana dan dapurnya berdinding bambu.

Namun di dalamnya, kasih sayang tumbuh dari kakeknya Nyoman Kari Sepel dan neneknya I Ketut Sari. Mereka sudah renta, namun cinta mereka ke ketiga cucunya sangat besar.

Nyoman Kari Sepel hanyalah seorang lansia, yang sehari-hari mencari rumput untuk pakan ternak sapi milik orang lain yang ia pelihara. Sementara istrinya, I Ketut Sari seorang lansia yang setiap hari membuat kelengkapan canang seperti porosan, tamas, atau daksina untuk dijual.


“Seberapa pun beratnya, saya akan tetap bekerja, agar cucu-cucu bisa sekolah. Itu harapan saya,” kata Kari Sepel.


Ketut Sari masih menyimpan luka yang dalam ketika menceritakan kepergian anaknya, ayah dari tiga cucu yang kini ia rawat. 


Sekitar tahun 2021, anaknya kecelakaan di jalan turunan di desanya, karena sepeda motor yang dikendarai remnya blong.


 Kakinya patah, tapi saat itu anaknya masih bisa bicara, bercanda, bahkan membantu istrinya membuat porosan.


“Dia masih sempat makan-makan sama teman kerjanya. Saya pikir sudah sehat, hanya kakinya saja yang patah. Juga sudah diperiksa dokter," ungkapnya.


Tapi beberapa hari kemudian, pada malam hari tiba-tiba nafas anaknya pendek. Ketut Sari saat itu langsung bangun, melihat kondisi anaknya yang tiba-tiba lemas dan nafasnya berat.


"Saya katakan, jangan tinggalkan anak-anak yang masih kecil. Lalu anak saya sempat katakan jangan sedih mek. Dia minta air, lalu berpulang di pangkuan saya,” ucapnya lirih, sembari menahan air mata.


Sejak saat itu, hidup keluarga kecil ini berubah. Sang ibu dari anak-anak kembali ke rumah asalnya. Tinggallah tiga bocah itu bersama kakek-nenek yang sudah renta.


Ketika itu pula, Ketut Sari dan Nyoman Kari Sepel menjadi sosok orangtua bagi tiga cucunya.


Setiap pagi, Ketut Sari menyiapkan segala kelengkapa cucunya berangkat sekolah. Sebelum ia sendiri sibuk membuat porosan, tamas, dan daksina untuk dijual di pasar. Sementara sang kakek sudah berangkat ke ladang mencari rumput.


Eka, si sulung, tak hanya belajar, tapi juga membantu. Seusai sekolah, ia ikut kakeknya mencari rumput. Kadang ia membawa bekal nasi seadanya, kadang hanya uang Rp2.000 atau Rp5.000 untuk jajan di sekolah.


Adiknya, Kadek Ayu Wulandari yang baru berusia 7 tahun, dengan malu-malu berkata ingin menjadi guru. Sementara si bungsu, Ngurah Laksmana yang masih 4,5 tahun, bercita-cita menjadi dokter.


Bagi Kari Sepel dan Ketut Sari, melihat cucu-cucu bisa bersekolah sudah menjadi kebahagiaan tak ternilai. 


“Saya ingin mereka bisa kuliah. Bisa mandiri dan mereka bisa hidup saling menjaga, karena sejak kecil sudah serba ketetbatasan,” ucap Sari, sambil menggenggam tangan cucu-cucunya.


Sementara paman mereka Made Muliarta turut membantu berusaha aga ketiga anak yatim itu dapat besekolah setinggi-tingginya. Dari desa, keluarga ini mendapat bantuan BLT. Ada pula donatur yang membantu biaya sekolah. Bahkan pernah ada yayasan yang berniat membiayai hingga perguruan tinggi, dan orang yang menawarkan untuk mengadopsi. Namun kakek dan nenek tak rela melepas cucu-cucunya.


“Kakek neneknys ingin mereka tetap di sini, biar bersama keluarga. Semoga bisa sekolah tinggi, membahagiakan kakek dan neneknya dan bisa membantu sesama,” ujar Muliarta. (mit)

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved