TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Bahasa Bali adalah bahasa ibu Pulau Dewata, dan memang memiliki keunikan tersendiri.
Hal ini dijelaskan oleh Ida Pedanda Nabe Gede Buruan kepada Tribun Bali dalam program Bali Sekala-Niskala.
Sulinggih yang dahulunya seorang dosen ini, menjelaskan bahwa sejatinya bahasa Bali tidaklah rumit.
"Bahasa Bali termasuk ke dalam bahasa daerah, yang masih hidup dan dipakai sebagai alat perhubungan yang hidup dan dibina oleh masyarakat pemakainya," ujar beliau.
Baca juga: Ini Makna dan Pentingnya Upacara Warak Kruron bagi Bayi yang Sudah Meninggal Dunia dalam Hindu Bali
Baca juga: Prosesi Ngereh dan Sakralisasinya dalam Hindu di Bali
Baca juga: Sad Kertih Menurut Kepercayaan Hindu di Bali, Ini Bagian-bagian dan maknanya
Bahasa daerah ini juga dihargai dan dipelihara oleh negara karena bahasa-bahasa itu adalah bagian daripada kebudayaan yang masih hidup.
Bahasa Bali juga berfungsi sebagai penunjang bahasa nasional, memperkaya perbendaharaan bahasa nasional.
Tatkala menjadi Dosen Bahasa, Sastra, dan Aksara Bali di Fakultas Ilmu Budaya Unud, beliau memberikan banyak ilmu tentang bahasa Bali.
Baca juga: Kajeng Kliwon, Umat Hindu Sembahyang Memohon Keselamatan
Baca juga: Yadnya dan Kaitannya dengan Tri Rna dalam Hindu Bali
Beliau menjelaskan bahwa anggah-ungguhing basa Bali adalah merupakan salah satu kaidah yang sangat penting dalam usaha meningkatkan kemampuan berbahasa Bali.
"Anggah-ungguhing basa Bali termasuk dalam salah satu faktor internal. Anggah-ungguhing basa Bali juga istilah untuk tingkat-tingkatan bahasa dalam bahasa Bali," sebut Ida Pedanda dari Gria Sanding, Pejeng, Gianyar ini.
Hal ini telah diresmikan dalam Loka Karya bahasa Bali tahun 1974 di Singaraja.
Terciptanya anggah-ungguhing basa Bali, juga terjadi karena dahulu adanya stratifikasi masyarakat Bali. Stratifikasi ini terjadi lantaran adanya tingkatan sosial, berdasarkan keturunan, senioritas, kekuasaan, dan keahlian.
Baca juga: Yadnya dan Kaitannya dengan Tri Rna dalam Hindu Bali
"Berbicara dengan bahasa Bali agar sesuai dengan anggah-ungguhing basa Bali dapat dilakukan dengan memilih kata-kata bahasa Bali yang telah ada. Yang masing-masing kata tersebut telah mengandung nilai rasa sosial," sebut beliau.
Pemilihan kata-kata pun harus disesuaikan dengan hati-hati, dan sesuai dengan rasa serta konteks berbicara.
Berdasarkan tata cara pembentukan anggah-ungguhing basa Bali, maka yang paling mendasar untuk dipahami dalam usaha meningkatkan kemampuan berbicara dengan bahasa Bali adalah perbedaan rasa bahasa kata-kata bahasa Bali.
Berdasarkan rasa bahasanya, kata-kata bahasa Bali dapat dibedakan menjadi empat.
Yaitu kata Alus Singgih, kata Alus Madia, kata Alus Mider, dan kata Alus Sor.
Kata Alus Singgih, jelas beliau adalah kata alus (halus) yang pada umumnya menghormati seseorang yang patut dihormati.
Baca juga: Genta Sebagai Simbol Ketuhanan, Bermakna Kesucian dalam Hindu Bali
Baca juga: Daksina atau Banten, Cara Mendekatkan Diri dengan Tuhan Dalam Hindu
Contoh kata Alus Singgih, adalah seda, lebar, makolem, ica, dan lainnya.
Biasanya kata Alus Singgih memiliki bentuk kata kasarnya.
Semisal jika Alus Singgih adalah kata seda (meninggal).
Maka bentuk kata kasarnya adalah bangka atau mati yang sama artinya juga meninggal.
Biasanya kata-kata Alus Singgih digunakan untuk berbicara kepada orang yang lebih dihormati atau lebih dituakan.
Baca juga: Manfaat Minum Air Lemon Hangat yang Jarang Diketahui, Salah Satunya Mengurangi Gejala Pilek
Baca juga: Termasuk Menurunkan Gula Darah, Ketahui Manfaat Biji Ketumbar Bagi Kesehatan dan Juga Risikonya
Semisal berbicara kepada orang tua, atau pejabat dan pimpinan.
Atau orang yang patut dihormati, semisal kepada para sulinggih, atau orang suci.
Kemudian ada kata Alus Madia adalah kata yang rasa bahasanya madia (tengah).
Biasanya kata ini digunakan saat berbicara dengan seseorang yang belum dikenal.
Atau pada seseorang dengan hubungan yang belum begitu akrab.
Kata Alus Madia, berdasarkan rasa bahasanya dibedakan menjadi dua.
Baca juga: Manfaat Minum Air Lemon Hangat yang Jarang Diketahui, Salah Satunya Mengurangi Gejala Pilek
Diantaranya, kata Alus Madia yang memang rasa bahasanya Alus Madia.
Serta kata Alus Madia yang berasal dari kependekan bentuk alus lainnya.
"Adapun keberadaan kata Alus Madia tidaklah banyak," ucap beliau.
Contoh kata Alus Madia, seperti tiang, ngajeng, ampun, nika.
Kata ini bisa dipakai untuk bertanya kepada orang yang belum dikenal.
Baca juga: Pemprov Bali Targetkan 35 Ribu Hingga 40 Ribu Anak Usia 6-11 Tahun Divaksinasi Covid-19 Per Harinya
Lalu ada kata Alus Mider adalah kata halus yang dapat digunakan untuk menghormati seseorang yang patut dihormati.
Kata ini dapat pula digunakan untuk berbicara santai kepada orang yang patut diajak berbicara santai.
"Kata Alus memiliki tiga ciri, yaitu dapat digunakan untuk menghormati, dapat digunakan untuk berbicara santai dan andap," sebut beliau.
Beberapa contoh kata Alus Mider adalah malih, miwah, polih, rawuh (rauh), pacang, dan masih banyak lagi.
Kata Alus Sor adalah kata yang dapat digunakan untuk merendahkan diri dalam konteks berbicara atau merendahkan orang lain dalam konteks berbicara.
Kata merendahkan ini, bermaksud bahwa berbicara untuk menghormati yang patut dihormati.
Sehingga diperlukan kata untuk menggambarkan diri lebih rendah dalam tatanan kata tersebut.
Baca juga: Manfaat Minum Air Lemon Hangat yang Jarang Diketahui, Salah Satunya Mengurangi Gejala Pilek
Semisal berbicara dengan para sulinggih, atau pemimpin negara dan daerah, maka lawan bicaranya sudah tentu harus menghormati.
Dalam tatanan tersebut diperlukan kata yang lebih rendah bagi diri sendiri dan kata lebih tinggi bagi lawan bicaranya.
Beberapa contoh kata Alus Sor adalah mawasta, nunas, ipun, titiang, dan masih banyak lagi.
Selain kata Alus Mider, ada pula kata Mider yaitu kata yang rasa bahasanya netral.
Kata-kata Mider tidak memiliki rasa bahasa yang berbeda.
Sehingga dalam pemakaiannya tidak mempunyai bentuk yang lainnya.
Baca juga: Manfaat Minum Air Lemon Hangat yang Jarang Diketahui, Salah Satunya Mengurangi Gejala Pilek
Sehingga kata ini bisa digunakan ke berbagai kalangan.
Baik kalangan yang patut dihormati maupun kalangan yang bisa diajak berbicara santai.
Contoh kata Mider adalah gulem, kambing, kija, arit, katik, dan lainnya.
Kata ini memiliki keunikan karena tidak memiliki rasa bahasa halus.
Seperti kata kija bisa dipakai berbicara ke lawan bicara yang patut dihormati, maupun kepada lawan bicara sepantaran.
Baca juga: Manfaat Minum Air Lemon Hangat yang Jarang Diketahui, Salah Satunya Mengurangi Gejala Pilek
Baca juga: Simak 3 Cara Cek BPJS Kesehatan Aktif Atau Tidak Sebagai Peserta JKN
Ada lagi kata Andap adalah kata yang memiliki nilai rasa yang biasa saja.
Tidak kasar tidak pula halus.
"Biasanya kata Andap digunakan untuk berbicara antar seseorang yang akrab, keluarga, dan pada zaman dahulu sesama wangsa," ujar beliau.
Contoh kata Andap adalah suba, nasi, aba, ento, tendas, dan lain sebagainya.
Baca juga: Manfaat Minum Air Lemon Hangat yang Jarang Diketahui, Salah Satunya Mengurangi Gejala Pilek
Lalu ada kata kasar atau kata yang rasa bahasanya kasar.
Kata ini biasanya digunakan tatkala seseorang marah, jengkel, dan dalam kondisi emosi.
Biasanya digunakan untuk mencaci maki tatkala bertengkar.
Contoh kata kasar, pantet, bangka, mamelud, beler, dan lainnya.
Baca juga: Simak 7 Aturan Terbaru Libur Sekolah Saat Nataru
Beliau mengingatkan, walaupun ada pembagian kata-kata bahasa Bali berdasarkan rasa bahasanya.
Tidaklah berarti semua kata-kata dalam bahasa Bali memiliki rasa bahasa yang lengkap.
Contohnya kata cunguh, memiliki Alus Singgih ungasan atau irung.
Namun, tidak memiliki rasa bahasa Alus Sor, maupun Alus Madia dan tidak ada rasa bahasa Alus Mider.
Baca juga: Manfaat Minum Air Lemon Hangat yang Jarang Diketahui, Salah Satunya Mengurangi Gejala Pilek
"Untuk dapat merasakan rasa bahasa yang baik dan benar, dalam suatu komunikasi. Memang memerlukan latihan yang lebih sering, latihan membaca, berkomunikasi, mendengarkan sehingga berangsur-angsur akan dapat memilah rasa bahasa yang baik dan benar," ucap beliau.
(*)