Budaya Bali

BUDAYA untuk Pariwisata atau Pariwisata untuk Budaya Bali? Simak Diskusi Pasamuhan Alit 2025

Menurut Eriadi, wajah Pariwisata Budaya Bali kini menghadapi dilema besar: apakah budaya untuk pariwisata, atau pariwisata untuk budaya? 

Putu Supartika - Tribun Bali
DISKUSI - Pelaksanaan Pasamuhan Alit Majelis Kebudayaan Bali (MKB) Tahun 2025 dengan tema Ketahanan Budaya dalam Menghadapi Industri Pariwisata. 

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR – Gelaran Pasamuhan Alit Majelis Kebudayaan Bali (MKB) Tahun 2025, menjadi ruang refleksi besar bagi insan budaya Pulau Dewata. 

Pada pelaksanaan hari kedua, Kamis, 23 Oktober 2025 bertempat di Ksirarnawa Art Center menghadirkan empat narasumber muda dari kalangan akademisi, praktisi, pegiat media sosial dan kebudayaan.

Mereka adalah I Ketut Eriadi Ariana (Jero Penyarikan Duuran Batur) seorang akademisi Fakultas Sastra Unud, I Gusti Rai Ari Temaja pengelola Tukad Bindu Kesiman, Gede Adrian Mahaputra seorang pegiat media sosial pemilik Bali Nggih, serta I Kadek Wahyudita seorang budayawan dan kurator.

Diskusi ini mengangkat tema Ketahanan Budaya dalam Menghadapi Industri Pariwisata.

Baca juga: PITANA: Pariwisata Budaya Melenceng! Pasamuhan Alit Kebudayaan Bali 2025, Rekomendasi Wisata Bali!

Baca juga: Ala Ayuning Dewasa Jumat 24 Oktober 2025 Sesuai Kalender Bali, Sukra Wage Wariga

WISATA - Indahnya pemandangan Tanjung Benoa Bali
WISATA - Indahnya pemandangan Tanjung Benoa Bali (IST)

I Ketut Eriadi Ariana, akademisi dari Program Studi Sastra Jawa Kuno Universitas Udayana, yang juga dikenal sebagai Jero Penyarikan Duuran Batur, mengajak publik meninjau ulang posisi budaya Bali dalam pusaran industri global yang kian menuntut komodifikasi nilai-nilai lokal.

Menurut Eriadi, wajah Pariwisata Budaya Bali kini menghadapi dilema besar, apakah budaya untuk pariwisata, atau pariwisata untuk budaya

Di tengah gempuran ekonomi wisata, banyak aspek budaya justru kehilangan makna. Ia menyebut ritual dan simbol keagamaan yang dulunya sarat makna spiritual, kini sering tereduksi menjadi tontonan semata.

Eriadi menegaskan, bahwa kebudayaan Bali sejatinya berakar pada cipta, rasa, dan karsa yang dijiwai agama Hindu, membangun keseimbangan antara dimensi sakala dan niskala. 

Namun, di lapangan, wajah kebudayaan justru memperlihatkan gejala redupnya ruang hidup, menyempitnya tanah dan natah, serta meningkatnya orientasi seremonial yang nir-esensi. 

“Kita butuh redesain dan reimajinasi kebudayaan Bali, agar tetap tegak di tengah perubahan zaman,” ujarnya.

Ia juga menyoroti perjalanan imaji pariwisata Bali sejak masa kolonial, dari citra “surga terakhir” di awal abad ke-20 hingga kini dihadapkan pada ancaman keruntuhan ekologi. 

“Dari pariwisata budaya menuju pariwisata lingkungan, kita belum tentu sepenuhnya beranjak dari eksploitasi,” tambahnya.

Sementara itu, Gede Adrian Maha Putra mengangkat tema “Dari Basa Bali ke Bahasa Promosi: Saat Media dan Gemerlap Pariwisata Mengubah Arah Budaya.” 

Ia menyoroti menurunnya penggunaan Bahasa Bali dan meningkatnya pengaruh media sosial dalam membentuk pola pikir generasi muda.

Menurutnya, tren hiburan di media sosial membuat banyak anak muda Bali kehilangan jati diri sebagai Nak Bali

Sumber: Tribun Bali
Halaman 1/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved