Budaya Bali

BUDAYA untuk Pariwisata atau Pariwisata untuk Budaya Bali? Simak Diskusi Pasamuhan Alit 2025

Menurut Eriadi, wajah Pariwisata Budaya Bali kini menghadapi dilema besar: apakah budaya untuk pariwisata, atau pariwisata untuk budaya? 

Putu Supartika - Tribun Bali
DISKUSI - Pelaksanaan Pasamuhan Alit Majelis Kebudayaan Bali (MKB) Tahun 2025 dengan tema Ketahanan Budaya dalam Menghadapi Industri Pariwisata. 

“Swadharma mereka terkikis. Gaya hidup hedonis dan materialistik kini jauh lebih menarik ketimbang melestarikan budaya,” kata Adrian. 

Ia menambahkan, pariwisata juga mendorong perubahan pola kerja dan pandangan hidup masyarakat, di mana orang Bali justru menjadi tamu di tanah kelahirannya sendiri.

“Turis asing terlalu didewakan, sementara krama Bali sibuk bekerja di industri pariwisata tanpa sempat menengok akar budayanya,” ujarnya. 

Adrian juga menyinggung narasi populer Bali cinta damai yang menurutnya sering menjadi selimut bagi berbagai persoalan sosial, mulai dari individualisme, ketimpangan ekonomi, hingga lunturnya solidaritas antar warga.

Dalam paparannya, Adrian menekankan perlunya kepemimpinan yang tidak terjebak dalam politik transaksional serta pentingnya menghidupkan kembali Basa Bali sebagai bahasa ibu. 

Ia juga menyerukan rutinisasi dharma wacana dalam setiap upacara keagamaan agar masyarakat tidak kehilangan arah spiritual. 

“Tanpa pendidikan nilai, pura hanya menjadi tempat ritual, bukan pusat kesadaran,” tegasnya. 

Pembicara lain, I Gusti Rai Ari Temaja membahas terkait keberadaan sungai di Bali. Baginya, sungai dan air merupakan sumber peradaban. Hal ini dikarenakan, dari sungailah kebudayaan itu lahir. 

"Namun, yang kita butuhkan ke depan adalah orang-orang yang mau ngemit (menjaga) air ini agar senantiasa dapat menjadi sumber kehidupan," paparnya.

Baginya, dibutuhkan arsa (niat), rasa, pengrasa (kesadaran), dan ngeraksa (menjaga) dan menyudahi perdebatan tanpa ujung. 

Sementara I Kadek Wahyudita mengatakan jika Bali telah lama menjadi ikon pariwisata global, di mana industri ini menjadi tulang punggung perekonomiannya. 

Namun, pertumbuhan pariwisata yang masif dan nir-kendali telah memicu dilema struktural. 

"Alih-alih mencapai keseimbangan ideal yang sering digaungkan dalam konsep Tri Hita Karana, Bali justru terperosok dalam krisis ekologis, sosial, dan yang paling mengkhawatirkan, degradasi serta eksploitasi budaya secara besar-besaran," paparnya. 

Baginya hal ini sama seperti pepatah orang bali mengatakan ngalih sampi galang bulan, ngalih bati kilangan kemulan. 

"Solusi yang kita harapkan adalah Bali mengukuhkan kembali esensi budayanya, dengan cara mengembalikan makna kebudayaan itu, merawat keunggulan nilainya, sehingga jati dirinya akan kokoh," paparnya.

Sumber: Tribun Bali
Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved