Berita Bali
Apakah Pelanggar SE AMDK di Bawah 1 Liter Bisa Dikenakan Sanksi? Begini Menurut Pakar
Para pakar hukum dan kebijakan publik menyoroti Surat Edaran (SE) Gubernur Bali Nomor 9 Tahun 2025 yang melarang AMDK
Penulis: Ni Luh Putu Wahyuni Sari | Editor: Ida Ayu Suryantini Putri
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR — Para pakar hukum dan kebijakan publik menyoroti Surat Edaran (SE) Gubernur Bali Nomor 9 Tahun 2025 yang melarang Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) di bawah 1 liter.
Pemprov Bali yang tetap akan memberlakukan sanksi administratif bagi pelanggar sangat berpotensi bertentangan dengan hukum perundang-undangan yang lebih tinggi seperti Undang-Undang Investasi, Undang-Undang terkait Perizinan Usaha, Peraturan Daerah (Perda) dan Peraturan Gubernur (Pergub) yang sudah ada.
Seperti diketahui, Gubernur Bali I Wayan Koster akan mencabut izin usaha jika produsen AMDK tetap memproduksi AMDK di bawah 1 liter yang diberi batas waktu hingga awal 2026 mendatang.
Baca juga: Produsen AMDK Lokal di Bali Akui Tak Pernah TTD Pernyataan Persetujuan Hentikan Produksi Bawah 1L
Pakar hukum tata negara senior yang juga mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Profesor Jimly Asshiddiqie menegaskan Surat Edaran itu tidak ada sanksinya karena cuma kebijakan biasa. Menurutnya, SE itu juga bukan sebuah kebijakan yang dituangkan dalam bentuk peraturan.
“Jadi, SE itu tidak pernah ada sanksi hukumnya. Itu hanya berupa himbauan saja,” ujarnya pada, Selasa 11 November 2025.
Dia mengatakan yang ada saksinya itu kalau bertindak atas dasar pelanggaran Undang-undang, Perda, dan Pergub “Tapi, kalau sekedar SE, itu tidak bisa diapa-apakah karena tidak bisa diperlakukan sebagai keputusan administrasi,” katanya.
Karenanya, lanjutnya, klausul dari kebijakan yang tertuang dalam SE itu juga tidak boleh berlawanan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya.
Baca juga: DKLH Pemprov Bali Sebut SE Gubernur Larangan AMDK Tak Ada Sanksi Hukum, Ini Kata Pengamat Undiknas
“Karena bukan peraturan, SE itu juga sifatnya tidak bisa memaksa,” ucapnya.
Pendapat serupa disampaikan pakar hukum senior lainnya, Gede Pasek Suardika.
Dia menegaskan SE Gubernur Bali yang melarang AMDK di bawah 1 liter itu tidak bisa dijadikan landasan untuk memberikan hukuman bagi masyarakat dan pelaku usaha dari semua level.
Dia beralasan SE tidak berada dalam klaster perundang-undangan sehingga tidak bisa digunakan untuk menjatuhkan sanksi.
“SE itu sebenarnya masuk ke dalam rumpun administrasi negara yang posisinya berada di level kebijakan. Di dalam beberapa ketentuan yang ada, SE itu setara dengan nota dinas. Jadi, kalau sampai nanti dijatuhkan sanksi bisa digugat. Meski penguasa juga tetap bisa digugat,” tukasnya.
Para pakar kebijakan publik juga melontarkan pendapat serupa. Pakar Kebijakan Publik Universitas Soedirman (Unsoed), Slamet Rosyadi, menegaskan bahwa Surat Edaran tidak bisa dijadikan dasar hukum untuk memberikan sanksi kepada pihak swasta.
Menurutnya, pada dasarnya SE tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. “Jadi, tidak bisa dijadikan landasan hukum karena SE itu kedudukannya tidak masuk dalam hierarki perundang-undangan,” tuturnya.
Slamet melanjutkan, SE kerap digunakan untuk merinci atau mengklarifikasi terhadap aturan atau pasal tertentu yang barangkali multitafsir, sehingga memberikan instruksi jelas dalam internal pemerintahan.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/bali/foto/bank/originals/ilustrasi-air-minum-dalam-botol.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.