Berita Bali

PENGAMAT Hukum Berbagai Universitas Soroti Hierarki UU SE Gubernur Pelarangan AMDK di Bawah 1 Liter

Kebijakan pelarangan Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) di bawah 1 liter, oleh Gubernur Bali yang diatur melalui Surat Edaran (SE)

ISTIMEWA
Kebijakan pelarangan Air Minum Dalam Kemasan (AMDK), di bawah 1 liter Gubernur Bali yang diatur melalui Surat Edaran (SE) perlu landasan hukum yang lebih kuat, dan kajian yang matang sebelum diimplementasikan secara penuh. Jika itu tidak dilakukan, kebijakan tersebut akan berdampak luas terhadap industri dan masyarakat di Bali. 

TRIBUN-BALI.COM - Kebijakan pelarangan Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) di bawah 1 liter, oleh Gubernur Bali yang diatur melalui Surat Edaran (SE) perlu landasan hukum yang lebih kuat dan kajian yang matang sebelum diimplementasikan secara penuh.

Jika itu tidak dilakukan, kebijakan tersebut akan berdampak luas terhadap industri dan masyarakat di Bali. Para pengamat hukum dari berbagai universitas di Indonesia, menekankan SE Gubernur Bali mengenai pelarangan AMDK di bawah 1 liter itu harus merujuk pada payung hukum tertinggi tertinggi di Indonesia seperti Undang-undang  atau Peraturan Daerah (Perda).

Selain itu, kebijakan tersebut juga tidak boleh dijalankan secara sepihak. Apalagi mereka menilai kedudukan SE itu secara hukum lemah karena bukan merupakan hierarki peraturan perundang-undangan tertinggi.

 

Baca juga: TUNTUT Cabut Gelar Pahlawan Soeharto, LBH Bali Sebut Ada Upaya Mencuci Ingatan,  Ada 10 Nama Tokoh!

Baca juga: TERPAKSA Ngajar Lebih dari 24 Jam, Ratusan Guru Pensiun Tahun Ini, Rekrutmen ASN Belum Ada Kabar

 

Karenanya, mereka menyarankan agar SE Gubernur Bali yang salah satu klausulnya melarang AMDK di bawah 1 liter ini dikaji ulang secara komprehensif, termasuk dampak ekonomi, sosial, dan efektivitas dalam mengurangi sampah plastik secara keseluruhan.

Menurut mereka, kebijakan ini juga perlu dikaji ulang karena pelarangan hanya menargetkan AMDK ukuran kecil. Pakar Hukum Universitas Udayana (Unud), Arya Utama, berpendapat bahwa sebetulnya Peraturan Gubernur (Pergub) yang sudah ada pada periode sebelumnya itu sudah cukup untuk digunakan dalam mengatasi permasalahan sampah di Bali dan tidak perlu lagi ada kebijakan baru seperti SE Gubernur.

Menurutnya, kebijakan itu tidak perlu banyak-banyak dikeluarkan kalau tidak ada pelaksanaannya. “Kalaupun mau mengeluarkan surat edaran, itu cukup untuk mengingatkan saja Pergub yang sudah ada. Tidak usah menambah-nambahi aturannya. Karena Pergub itu saja sudah cukup bagus, itu saja yang dieksekusi,” ucapnya.

Sebelumnya, Bali memang sudah memiliki beberapa peraturan terkait sampah. Di antaranya, ada Perda Provinsi Bali No.5 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Sampah. Perda Provinsi Bali No.1 Tahun 2017 tentang Perlindungan & Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Pergub Bali No.97 Tahun 2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai. Pergub Bali No.47 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber. Pergub Bali No.24 Tahun 2020 tentang Perlindungan Danau, Mata Air, Sungai, dan Laut.

Keputusan Gubernur Bali No.381 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber di Desa/Kelurahan dan Desa Adat. 

“Jadi, untuk apa lagi ada SE baru. Apalagi dalam salah satu klausulnya ada poin yang sama sekali tidak diatur dalam Perda dan Pergub sebagai payung hukum yang lebih tinggi. Di mana, dalam SE itu diselipkan satu poin yang hanya melarang AMDK di bawah 1 liter,” katanya. 

Dia menegaskan, tidak boleh ada kebijakan yang diskriminatif dalam penanganan permasalahan sampah di Bali. Menurutnya, semua jenis sampah itu harus diperlakukan sama. “Pergub kan juga sebenarnya sudah mengaturnya dan malah tidak tebang pilih. Pergub mengatur semua jenis sampah plastik dan bukan hanya plastik air minum kemasan sekali pakai yang kecil saja,” katanya.

Hal senada juga disampaikan Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia), Erfandi. Dia mengatakan langkah Gubernur Bali untuk membuat daerahnya bersih itu memang perlu diapresiasi.

Tetapi, lanjutnya, niat baik itu tidak bisa serta merta dilakukan dengan cara-cara yang tidak prosedural dengan tidak merujuk pada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi seperti Undang-Undang dan  Perda. Menurutnya, kebijakan lingkungan daerah seperti ini bisa mewujudkan ketidakpastian hukum. “Bisa dipastikan kebijakan lingkungan seperti itu tidak akan efektif kalau tetap dipaksakan pelaksanaannya,” katanya.

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved