Klarifikasi Menaker Ida Fauziyah Soal Cuti Haid dan Melahirkan, Masihkah Dapat Upah?
Soal cuti pekerja, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker), Ida Fauziyah memberikan tanggapannya.
TRIBUN-BALI.COM, JAKARTA - Soal cuti pekerja, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker), Ida Fauziyah memberikan tanggapannya.
Ia membantah bahwa Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja atau UU Cipta Kerja menghilangkan hak cuti pekerja seperti cuti haid dan cuti melahirkan.
Politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini menegaskan, bahwa waktu istirahat dan cuti itu tetap diatur seperti di UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
"Memang tidak diatur di Undang-Undang Cipta Kerja. Artinya kalau tidak dihapus berarti undang-undang yang lama tetap eksis, namun undang-undang ini memerintahkan untuk pengaturan lebih detailnya di peraturan pemerintah (PP)," kata Ida dilansir dari Antara, Jumat (9/10/2020).
• Dianggap Wajar, Kapan Harus Waspada terhadap Nyeri Haid? Perhatikan 4 Ciri Ini
• Presiden Jokowi dan Wapres Maruf Amin Pagi Ini Dijadwalkan Rapat Bahas UU Omnibus Law Cipta Kerja
• Ekonom Ini Ingatkan Potensi Bahaya Omnibus Law
Namun, dalam penjelasannya, Ida justru tak menjelaskan terkait apakah perusahaan masih harus diwajibkan membayar upah penuh selama cuti haid dan melahirkan.
Skema no work no pay atau yang lebih dikenal unpaid leave selama ini jadi kekhawatiran para pekerja, khususnya pekerja perempuan, apakah diterapkan di UU Cipta Kerja atau sebaliknya tetap mengacu pada aturan lama di UU Ketenagakerjaan.
Ida menjelaskan, bahwa waktu kerja bagi pekerja tetap mengikuti ketentuan dari UU Ketenagakerjaan meliputi tujuh jam sehari dan 40 jam satu pekan untuk enam hari kerja dalam satu pekan.
Selain itu tetap diatur juga ketentuan waktu kerja delapan jam sehari dan 40 jam satu pekan untuk lima hari kerja dalam satu pekan.
• Menhan AS Resmi Undang Prabowo, Borong Alutsista?
• Diduga Ada Kelompok Anarko di Demo UU Omnibus Law Cipta Kerja di Berbagai Daerah, Ini Cirinya
• Dari Ribuan Perajin di Bangli, Hanya 30 Perajin yang Telah Mengantongi Sertifikat HAKI
Terkait lembur, ia memastikan waktu kerja tetap diatur maksimal empat jam dalam satu hari.
Ida mengatakan bahwa UU yang telah disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Senin (5/10/2020) itu juga mengakomodasi pekerjaan yang sifat dan kondisinya tidak dapat mengikuti sepenuhnya ketentuan yang sebelumnya sudah tertuang di UU Nomor 13 Tahun 2003.
"Misalnya sektor ekonomi digital yang waktu kerja sangat fleksibel. Kalau di UU sebelumnya tidak mampu mengakomodasi jenis pekerjaan baru, waktu pekerjaan yang fleksibel maka di UU ini jawabannya," tegas Ida.
Ida juga mengungkapkan alasan kenapa pemerintah dan DPR secara mendadak mengesahkan RUU Cipta Kerja menjadi UU Cipta Kerja.
• Wawancara Khusus dr Lula Kamal, Cara Penerapaan 3 M yang Benar dan Potensi Sumber Penularan
• 4 Zodiak Dikenal Paling Setia, Hangat dan Berkomitmen Tinggi, Siapa Saja Mereka?
• 27 Pendemo Tolak UU Omnibus Law Cipta Kerja Reaktif Covid-19, Langsung Dikirim ke Wisma Atlet
Ida mengatakan, berdasarkan informasi yang ia dapatkan, DPR hendak mengurangi intensitas rapat dengan alasan banyak anggota DPR yang terpapar virus corona (Covid-19).
"DPR memutuskan untuk mempercepat (pengesahan) yang rencananya tanggal 6 atau tanggal 8 (Oktober).
Kemudian diajukan menjadi tanggal 5 dengan alasan karena untuk mengurangi jam-jam rapat sehingga bisa menekan penyebaran Covid-19," ujar Ida.
• Aksi Demo UU Omnibus Law Cipta Kerja di Bali Sempat Memanas, Polisi Melepaskan Gas Air Mata
• Kenali 4 Hormon Bahagia yang Berguna untuk Kesehatan Mental, Serta Cara Mengaktifkannya