Wiki Bali
WIKI BALI - Kisah di Balik Berdirinya Pura Dalem Bugbugan Pucuk Danu
Salah satunya adalah berdirinya Pura Dalem Bugbugan Pucuk Danu yang terletak di Jalan Noja Saraswati, Tonja, Kecamatan Denpasar Utara, Kota Denpasar
Penulis: Anak Agung Seri Kusniarti | Editor: Alfonsius Alfianus Nggubhu
TRIBUN-BALI.COM – Pura sebagai tempat persembahyangan umat hindu di Bali memiliki nilai historis dan religious yang tinggi.
Berdirinya sebuah Pura di suatu lokasi tertentu di Bali tidak terlepas dari kisah dibaliknya.
Salah satunya adalah berdirinya Pura Dalem Bugbugan Pucuk Danu yang terletak di Jalan Noja Saraswati, Tonja, Kecamatan Denpasar Utara, Kota Denpasar
Baca juga: Jerinx Mengaku Tahu Siapa Pemesan Pasal Dakwaan
Baca juga: Guru Berkarya Klungkung Gelar Workshop & Sayembara Menulis Puisi Siswa SD se-Bali
Baca juga: Imam Besar Masjid Istiqlal Sebut Kalau Ada yang Bilang Covid-19 Tidak Ada, Pembodohan Publik
Baca juga: Sindiran Keras Rocky Gerung Kepada Irma Chaniago Soal Kebijakan Gubernur Ga Sampai Pikirannya
Keberadaan Pura ini tepat di sebelah Dam Oongan. Dam yang dipercaya warga setempat merupakan bentuk pengorbanan Ki Sawunggaling bagi warga pada zaman dahulu.
Berdirinya Pura Dalem Bugbugan Pucuk Danu tersebut masih ada kaitannya dengan Dam Oongan.
Berikut penuturan Jro Mangku Wayan Sarga mengenai berdirinya Pura Kahyangan Jagat.
Jro Mangku Wayan Sagra merupakan Pemangku Pura Dalem Bugbugan Pucuk Danu
Pria paruh baya ini mengisahkan, bahwa leluhurnya merupakan orang kepercayaan Raja Pamecutan.
Pada suatu hari, ada rapat ke Ulun Danu Batur. Jro Mangku Wayan Sagra mengatakan leluhurnya terlambat datang ke lokasi rapat saat itu.
“Namun nenek moyang saya terlambat datang, karena ia harus menyeberang sungai Badung. Ia berjalan dari timur, dan di pertengahan sungai melihat ada kotak kecil layaknya tempat tembakau (mako),” katanya.
Kemudian diambil kotak tersebut, dan dibuang kembali ke hilir sungai.
Anehnya, cerita dia, kotak ini kembali mengikuti nenek moyangnya sampai ke ujung barat sungai.
“Tidak berani leluhur saya membukanya, lalu dihaturkan ke Puri Pamecutan. Saat ia sampai dengan terlambat, paruman atau rapat belum dimulai. Lalu leluhur saya memberikan kotak ini pada raja. Zaman dahulu selain raja tidak ada yang berani membuka,” jelasnya.
Ternyata baru dibuka isinya adalah lontar.

“Kalau saya dengar cerita, isinya tentang pembangunan parhyangan atau pura. Dan leluhur saya ditunjuk menjadi pemangku. Lontar itu isyarat untuk membuat pura,” katanya.
Akhirnya dibangunlah pura, setelah kisah Ki Sawunggaling menjadi empelan bersama istrinya.
Piodalan pura ini bertepatan dengan Purnama Kapat, berbarengan saat Ki Sawunggaling terjun bersama istrinya.
“Waktu itu, Ki Sawunggaling meminta agar begitu ia masuk ke air lalu ditancapkan canang dadap berisi benang tridatu. Dan begitu Ki Sawunggaling turun, airnya terbendung dan mereka pun hilang ditelan bumi,” jelasnya.
Pura ini pun, dikenal dengan pura kahyangan jagat, jadi siapa saja boleh sembahyang.
Selain pura utama, ada pula pura awal di sebelah utara pura utama, dan ada pura taman di seberangnya di dekat pinggir sungai.
Ia mengakui sampai saat ini masih ada korban yang tenggelam atau hanyut di sekitar dam oongan.
“Mungkin saja karena ada kesalahan,” katanya.
Untuk itu, ia berharap semua yang datang ke sana tidak memiliki niatan buruk.
“Terkadang ada yang jadi pengayah di sana,” imbuhnya.
Saat ini beberapa kawasan di sekitar dam dan pura, telah ditata apik oleh Kota Denpasar menjadi taman pesinggahan.
Jika ingin tangkil ke pura, cukup membawa peras pejati dan canang.
Jero Mangku Made Wati, juga mengakui bahwa dam ini banyak penunggunya.
“Dahulu ada artis Tukul Arnawa dan timnya ke sini, menelusuri dan melihat adanya wong samar yang menjadi pagar betis di dam ini. Namun saya pribadi tidak melihat hal tersebut,” jelasnya.
Sehingga memang disarankan, jika datang berkunjung ke sana harus mengikuti aturan dan tidak berbuat macam-macam.