Human Interest Story
Kisah Agus Ariawan 8 Bulan Jadi Korban TPPO, Kerja Tanpa Gaji, Disiksa Hampir Tiap Hari
Seluruhnya diceritakan Kadek Agus saat ditemui di kediamannya di Kelurahan Liligundi, Kecamatan Buleleng pada Sabtu 22 Maret 2025.
Penulis: Muhammad Fredey Mercury | Editor: Putu Dewi Adi Damayanthi
TRIBUN-BALI.COM, SINGARAJA - Kadek Agus Ariawan menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) akhirnya bisa pulang dengan selamat pada Jumat 21 Maret 2025.
Kendati secara fisik ia tampak baik-baik saja, namun secara mental pria 37 tahun itu mengalami trauma mendalam.
Betapa tidak, selama delapan bulan lamanya ia menjalani pekerjaan ilegal dengan waktu kerja selama 16 jam per hari.
Bahkan ia kerap mengalami berbagai jenis penyiksaan apabila tidak mencapai target yang ditentukan.
Baca juga: RAYU & Tipu Pria, Kisah Agus Ariawan 8 Bulan Jadi Korban TPPO, Kerja Tanpa Gaji, Disiksa Tiap Hari!
Seluruhnya diceritakan Kadek Agus saat ditemui di kediamannya di Kelurahan Liligundi, Kecamatan Buleleng pada Sabtu 22 Maret 2025.
Agus mengungkapkan, keputusan bekerja di luar negeri setelah ia tergiur bekerja di sebuah restoran yang ada di negara Thailand, yang ditawarkan seseorang bernama Komang Budayasa.
Hingga pada tanggal 5 Agustus 2024, ia berangkat dari Bali menuju Jakarta.
Saat itu ia berangkat bersama seseorang bernama Nengah Sunaria, asal Desa Jinengdalem, Kecamatan Buleleng yang juga tergiur oleh tawaran Komang Budayasa.
Di Jakarta, keduanya bergabung bersama rombongan lain untuk bersama-sama berangkat ke Thailand esoknya.
Kemudian setelah tiba di Thailand, rombongan diangkut menggunakan bus menempuh perjalanan darat dari Thailand hingga perbatasan Myanmar.
Kecurigaan mulai muncul saat rute perjalanan yang ditempuh berbeda dari tujuan awal.
Saat tiba di perbatasan, Agus Ariawan sempat melihat paspornya dicap oleh petugas Imigrasi.
Ia sempat bertanya pada petugas namun petugas itu tidak memahami bahasa Inggris.
Ketika perjalanan berlanjut hingga lebih dari lima jam, ia semakin yakin ada sesuatu yang tidak beres.
Setibanya di perbatasan Thailand-Myanmar, Agus Ariawan dan rekan-rekannya harus menyeberangi sungai menggunakan sampan.
“Di perbatasan itulah saya sempat berontak. Namun saat itu, salah satu teman rombongan menenangkan saya. Ia mengatakan bisa saja lokasi tempat kerja berada di perbatasan. Sehingga saya berusaha tetap tenang,” ujarnya.
Namun setibanya di lokasi, Agus melihat orang-orang bersenjata menjaga portal-portal perbatasan.
Ia dan rekan-rekannya tidak bisa melawan dan terpaksa mengikuti instruksi hingga akhirnya dijemput oleh orang Tiongkok yang merupakan bosnya untuk dibawa ke portal ketiga.
“Dalam perjalanan itu saya sudah pasrah. Pikiran saya sudah aneh-aneh apakah saya akan dijadikan budak atau bagaimana,” ucapnya.
Agus mengungkapkan, ia dibawa ke daerah terpencil di Myawaddy, Myanmar. Oleh warga sekitar, tempat ini disebut KK Park.
Lokasinya di sebuah lembah yang dikelilingi bukit, yang aksesnya melewati hutan.
Walaupun terpencil, Agus menyebut lokasi itu seperti kota.
Ada mini market, ada klinik, dan banyak perusahaan. Saat tiba di perusahaan awalnya Agus tidak mau kerja.
Ia sempat diancam untuk dibunuh. Namun karena sudah pasrah, Agus mengaku tidak masalah jika memang harus meninggal.
Tapi hal tersebut justru dianggap melawan oleh pihak perusahaan. Agus justru mengalami penyiksaan selama sepekan.
“Karena selama seminggu itu saya tidak mau kerja, saya disetrum, dipukuli, dicambuk. Akhirnya saya dibujuk teman-teman agar ikuti alurnya. Selama itu juga saya mencari cara bagaimana agar bisa melapor ke petugas di Indonesia,” ujarnya.
Agus bekerja di perusahaan scam (penipuan). Di tempat ini, Agus menjadi scam love atau penipu yang bergerak secara daring, dengan berkedok mencari cinta atau pasangan, dengan target orang-orang dari negara Irak, Turki, hingga Rusia.
Pada pekerjaan itu, Agus diminta menguras uang targetnya dalam waktu 4 hari.
Pekerjaan menipu itu ia lakoni selama berbulan-bulan. Apabila tidak mencapai target, maka Agus akan disiksa sebagai konsekuensi.
“Targetnya ratusan ribu dolar. Target ini sifatnya bulanan. Apabila kita tembus target, maka bulan selanjutnya target akan bertambah. Namun ada juga target harian. Apabila tidak ada penarikan pada hari itu, konsekuensinya jelas disiksa,” ucapnya.
Agus mengaku setiap hari dia bekerja selama 16 jam. Dimulai dari pukul 16.00 hingga pukul 8.00, bahkan tak jarang lembur hingga pukul 10.00. Selama bekerja, ia tidak pernah mendapat gaji.
Hanya diberi tempat tinggal serta makan secukupnya untuk bertahan hidup.
Karenanya Agus tak memungkiri banyak rekannya yang sampai stres akibat pekerjaan ini.
Tak sedikit yang sampai memutuskan untuk mengakhiri hidup karena saking tidak kuat mental.
“Ketahuan mengantuk saja akan berakibat penyiksaan. Bahkan ada yang masih sakit dan sedang diinfus, tetap dipaksa bekerja,” ungkapnya.
Delapan bulan lamanya disekap, komunikasi Agus dan keluarga di Indonesia terputus.
Sebab ponselnya disita oleh petugas. Beruntung ada salah satu rekannya yang memiliki dua ponsel, dan lolos dari sitaan.
Hingga akhirnya membuat video permintaan tolong yang viral di media sosial ihwal penyiksaan yang dialami. (muhammad fredey mercury)
Kumpulan Artikel Buleleng
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.