Kasus SPI Unud
Ada Upaya Penggiringan Opini di Luar Persidangan Kasus SPI Unud, Ini Tanggapan Kejati Bali
Kejaksaan Tinggi Bali angkat bicara terkait beredarnya opini yang terjadi di luar persidangan, khususnya di media sosial soal penanganan kasus SPI
Penulis: Putu Candra | Editor: Ida Ayu Suryantini Putri
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bali angkat bicara terkait beredarnya opini yang terjadi di luar persidangan, khususnya di media sosial soal penanganan kasus dugaan korupsi Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) mahasiswa baru (maba) seleksi jalur mandiri Universitas Udayana (Unud) tahun 2018-2022.
"Sambil kita cermati sidang hari ini, kami ingin memberikan tanggapan terhadap beberapa opini yang terjadi di luar persidangan."
Baca juga: Sidang Tiga Pejabat, Prof Wiksuana Akui Ada Kelalaian Pungutan SPI Unud
"Di mana saat ini telah dibuat opini di media sosial sehingga menjadi bias yang sengaja dilakukan untuk menggiring opini publik dalam penanganan perkara ini," terang Kepala Seksi Penerangan dan Hukum (Kasi Penkum) Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bali, Putu Agus Eka Sabana Putra di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Denpasar, Jumat, 3 November 2023.
Eka Sabana menjelaskan, penanganan kasus dugaan korupsi SPI Unud ini bukan untuk menyidangkan perbuatan penerimaan maba dengan cara “titipan”.
Baca juga: Sidang Dakwaan Rektor Unud, Endapkan Dana SPI, Unud Peroleh Belasan Mobil
Hal titip-menitip dalam kasus ini berkaitan erat dengan penyalahgunaan kewenangan, dengan sengaja membuat pungutan tanpa dasar hukum. Ini dapat dikatakan sebagai pungutan liar.
Pungutan ini dipungut oleh pejabat negara atau Aparatur Sipil Negara atau pejabat pemerintah atau seseorang yang digaji oleh negara, dalam hal ini Unud.
"Sehingga kualifikasi perbuatan-perbuatan tersebut masuk dalam ranah perbuatan korupsi," ungkap Eka Sabana didampingi tim Jaksa Penuntut Umum (JPU), Dino Kriesmiardi.
Baca juga: Hotman Paris di Kasus SPI Unud : Dalam Sejarah, Ini Kasus Korupsi Tapi Tak Ada Kerugian Negara
Pihaknya juga meluruskan opini yang menyatakan, negara diuntungkan karena PNBP Negara (Unud) yang membengkak.
"Kita pahami bersama, PNBP seharusnya didapat dari perolehan kegiatan yang sah atau legal. Penggunaan dana PNBP tersebut secara spesifik seharusnya dipergunakan untuk infrastruktur."
Baca juga: Prof Raka Sudewi Disebut-sebut, Kasus Dugaan Korupsi SPI, Rektor Unud Diadili Hari Ini
"Harus direncanakan sebelumnya, dengan kata lain negara tidak boleh memungut pendapatan secara tidak sah. Sedangkan dalam kasus ini, pungutan SPI Unud dibuat secara tidak sah," papar Eka Sabana.
Sebagaimana diterangkan secara jelas dan gamblang di surat dakwaan tim JPU, dan keterangan saksi di persidangan, kata Eka Sabana terdapat fakta dinikmatinya perolehan yang tidak sah untuk kepentingan pribadi dalam kasus SPI Unud tersebut.
Diketahui, pada persidangan sebelumnya saksi Prof.Dr.Wiksuana sebagai Wakil Rektor II menerangkan, pemungutan SPI diakui ada kekeliruan.
Yaitu aturan yang dipakai sebagai dasar pelaksanaan SPI hanya SK Rektor Unud tidak termuat dalam PMK. Di sisi lain Prof Wiksuana mengakui, bahwa SPI dijadikan sebagai bagian dari tarif layanan Unud.
"Jika berbicara tarif layanan, maka hal itu harus diatur dalam PP dan PMK, tapi nyatanya dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 23 Tahun 2005 yang diubah dalam PP Nomor 74 Tahun 2014 tentang pengelolaan keuangan BLU dan PMK nomor 51 dan 95 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Universitas Udayana tidak menyebutkan SPI sebagai salah satu tarif layanan," kata Eka Sabana.
"Saksi juga menerangkan pada tahun akademik 2018/2019 dan 2019/2020 SPI dipergunakan sebagai salah satu syarat kelulusan calon mahasiswa baru sebagaimana dituangkan dalam pedoman operasional baku penerimaan mahasiswa jalur mandiri dengan bobot 40 persen dari 100 persen nilai kelulusan," imbuhnya.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.