Kasus SPI Unud

Kajian SPI Unud Berdasarkan Website 3 PTN, Prof Wiagustini Sebut Studi Banding Tidak Turun Langsung

Guru besar Universitas Udayana (Unud) Prof Dr Ni Luh Putu Wiagustini SE MSi menyebut, kajian penyusunan besaran tarif Sumbangan Pengembangan Institusi

Penulis: Putu Candra | Editor: Ida Ayu Suryantini Putri
Putu Candra
Prof Wiagustini saat bersaksi di kasus dugaan korupsi SPI Unud, Jumat 4 November 2023. 

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Guru besar Universitas Udayana (Unud) Prof Dr Ni Luh Putu Wiagustini SE MSi menyebut, kajian penyusunan besaran tarif Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) berdasarkan benchmarking website tiga Perguruan Tinggi Negeri (PTN), yakni Universitas Brawijaya, Universitas Airlangga, dan Universitas Andalas. Bukan berdasarkan studi banding atau turun langsung ke lapangan.


Hal itu disampaikan Prof Wiagustini saat diperiksa keterangannya sebagai saksi di persidangan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Denpasar, Jumat (3/11/2023).

Baca juga: BREAKING NEWS: Dugaan Korupsi SPI Unud, Tim Hukum Prof Antara Bacakan Eksepsi Hari Ini

Prof Wiagustini dihadirkan oleh Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebagai saksi perkara dugaan korupsi dana SPI mahasiswa baru (maba) seleksi jalur mandiri Unud tahun 2018-2022.


Keterangannya diperiksa di persidangan untuk tiga pejabat Unud yang menjadi terdakwa dalam perkara ini, yakni Dr Nyoman Putra Sastra (berkas terpisah), I Ketut Budiartawan dan I Made Yusnantara.

"Kami hanya melakukan branchmarking melalui website di 3 PTN. Tim tidak langsung datang ke PTN. Tim tidak turun ke lapangan," ungkapnya.

Baca juga: Prof Wiksuana Akui Ada Kelalaian Pungutan SPI Unud


Tahun 2018, Prof Wiagustini ditunjuk sebagai ketua tim kajian SPI, dan mendapat tugas menyusun tarif SPI.

"Tugas kami berkoordinasi dengan tim pelaksanaan penetapan tarif SPI untuk mencari informasi SPI di beberapa PTN," jelasnya.


Ditanya oleh tim JPU terkait dasar regulasi SPI yang ada di tiga PTN tersebut, Prof Wiagustini mengaku lupa, apakah berdasarkan SK atau Peraturan Rektor.

Baca juga: Prof Antara Sebut Kasus Dugaan Korupsi Dana SPI Direkayasa, Rektor Unud Merasa Jadi Korban

Alasannya, karena dirinya bersama tim hanya fokus soal tarif saja dan waktu kajian yang terbatas.


Hasil kajian itu kemudian dituangkan dalam buku naskah akademik sesuai permintaan pimpinan.

"Kami lupa, hanya lihat tarif saja. Tidak melihat dari sisi regulasi. Kami diberikan waktu sangat terbatas untuk melakukan kajian. Hasilnya kami menyusun tarif yang kemudian dituangkan dalam naskah akademis," kata Prof Wiagustini.

Baca juga: Sidang Dugaan Korupsi SPI Unud Eksepsi, Prof Antara Bantah Dakwaan JPU


Setelah hasil kajian diserahkan ke pimpinan, Prof Wiagustini menyatakan sudah tidak lagi mengikuti proses SPI.

"Sampai kajian akademis selesai, saya sudah tidak mengikuti lagi," ujarnya.


Sementara itu, Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bali angkat bicara terkait beredarnya opini yang terjadi di luar persidangan, khususnya di media sosial soal penanganan kasus dugaan korupsi SPI maba seleksi jalur mandiri Unud tahun 2018-2022.

Baca juga: Prof Wiksuana Akui Ada Kelalaian Pungutan SPI Unud


"Sambil kita cermati sidang hari ini, kami ingin memberikan tanggapan terhadap beberapa opini yang terjadi di luar persidangan. Di mana saat ini telah dibuat opini di media sosial sehingga menjadi bias yang sengaja dilakukan untuk menggiring opini publik dalam penanganan perkara ini," kata Kasi Penkum Kejati Bali, Putu Agus Eka Sabana Putra di Pengadilan Tipikor Denpasar, Jumat.


Eka Sabana menjelaskan, penanganan kasus dugaan korupsi SPI Unud ini bukan untuk menyidangkan perbuatan penerimaan maba dengan cara “titipan”.

Hal titip menitip dalam kasus ini berkaitan erat dengan penyalahgunaan kewenangan, dengan sengaja membuat pungutan tanpa dasar hukum. Ini dapat dikatakan sebagai pungutan liar.


Pungutan ini dipungut oleh pejabat negara atau Aparatur Sipil Negara atau pejabat pemerintah atau seseorang yang digaji oleh negara, dalam hal ini Unud.

"Sehingga kualifikasi perbuatan-perbuatan tersebut masuk dalam ranah perbuatan korupsi," ungkap Eka Sabana didampingi tim JPU, Dino Kriesmiardi.

Pihaknya juga meluruskan opini yang menyatakan, negara diuntungkan karena PNBP Negara (Unud) yang membengkak.


"Kita pahami bersama PNBP seharusnya didapat dari perolehan kegiatan yang sah atau legal. Penggunaan dana PNBP tersebut secara spesifik seharusnya dipergunakan untuk infrastruktur."

"Harus direncanakan sebelumnya, dengan kata lain negara tidak boleh memungut pendapatan secara tidak sah. Sedangkan dalam kasus ini, pungutan SPI Unud dibuat secara tidak sah," papar Eka Sabana.


Sebagaimana diterangkan secara jelas dan gamblang di surat dakwaan tim JPU, dan keterangan saksi di persidangan, kata Eka Sabana, terdapat fakta dinikmatinya perolehan yang tidak sah untuk kepentingan pribadi dalam kasus SPI Unud tersebut.


Diketahui, pada persidangan sebelumnya saksi Prof Dr Wiksuana sebagai Wakil Rektor II menerangkan, pemungutan SPI diakui ada kekeliruan, yaitu aturan yang dipakai sebagai dasar pelaksanaan SPI hanya SK Rektor Unud tidak termuat dalam PMK.

Di sisi lain Prof Wiksuana mengakui, bahwa SPI dijadikan sebagai bagian dari tarif layanan Unud.


"Jika berbicara tarif layanan, maka hal itu harus diatur dalam PP dan PMK, tapi nyatanya dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 23 Tahun 2005 yang diubah dalam PP No 74 Tahun 2014 tentang pengelolaan keuangan BLU dan PMK No 51 dan 95 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Universitas Udayana tidak menyebutkan SPI sebagai salah satu tarif layanan," kata Eka Sabana.


"Saksi juga menerangkan pada tahun akademik 2018/2019 dan 2019/2020 SPI dipergunakan sebagai salah satu syarat kelulusan calon mahasiswa baru sebagaimana dituangkan dalam pedoman operasional baku penerimaan mahasiswa jalur mandiri dengan bobot 40 persen dari 100 persen nilai kelulusan," imbuhnya.


Ditanya, jika pungutan tidak sah, apa keuntungan yang dinikmati pada terdakwa.

"Tindak pidana korupsi itu tidak selalu berapa banyak seseorang itu mendapatkan keuntungan. Kita lihat pasal yang disangkakan," jawab Eka Sabana.


"Ada beberapa fasilitas dan keuntungan itu dinikmati oleh para terdakwa sendiri dan beberapa pejabat Unud. Dari fakta yang kami dapatkan kemarin, di antaranya uang SPI itu seharusnya dipergunakan untuk pembangunan, tapi uang tersebut diendapkan."

"Dari situ mendapatkan keuntungan dari CSR-nya para bank, beberapa mobil dipergunakan untuk para pejabat Unud," kata jaksa Dino Kriesmiardi.


Eka Sabana mengajak semua pihak menghormati proses hukum yang tengah berjalan dengan memberikan opini di dalam persidangan.

Tidak memberikan opini di luar. "Ini membuat bias di masyarakat, sehingga pemahaman tentang kasus ini juga nanti bisa menjadi tidak tepat. Marilah kita sama-sama menghormati proses hukum di persidangan," katanya. (*)

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved