Kasus Kekerasan Seksual Anak
Siswi 15 Tahun Diduga Dirudapaksa 4 Pria di Buleleng, Kasus Kekerasan Seksual Anak Memprihatinkan
Seorang siswi berusia 15 tahun diduga dirudapaksa secara bergiliran oleh empat pria di Kabupaten Buleleng.
TRIBUN-BALI.COM, SINGARAJA - Seorang siswi berusia 15 tahun diduga dirudapaksa secara bergiliran oleh empat pria di Kabupaten Buleleng.
Kasus ini menambah panjang daftar kekerasan seksual terhadap anak yang terjadi sepanjang tahun 2023.
Kasus dugaan rudapaksa di Buleleng pun sungguh miris. Salah satu pelaku tega mengabadikan perbuatan keji tersebut dengan berswafoto bersama korban. Perbuatan mereka akhirnya diketahui setelah foto tersebut beredar di media sosial (medsos).
Pemerhati sosial di Buleleng, Ary Ulangun, dikonfirmasi Senin 25 Desember 2023 mengatakan, pada Minggu 24 Desember 2023 malam dirinya diminta oleh seseorang untuk memviralkan kasus tersebut. Tujuannya agar ke empat pelaku segera ditangkap polisi.
Menurut informasi yang ia terima, kasus persetubuhan itu terjadi pada awal Desember lalu di salah satu rumah pelaku kawasan Kecamatan Buleleng. Namun kejadian ini baru diketahui oleh keluarga korban pada Minggu 24 Desember 2023.
Baca juga: Mulai Januari, DPMPTSP Buleleng Berkantor Penuh di MPP
"Saya sangat menyayangkan salah satu pelaku berswafoto dalam posisi korban tengah disetubuhi oleh pelaku yang lain. Mereka berswafoto saat masih ada aktivitas seks di sana. Hingga akhirnya foto itu beredar di grup WhatsApp dan diketahui oleh orangtua korban," ungkap Ary Ulangun.
Ary telah berkoordinasi dengan Unit PPA Polres Buleleng untuk memberikan pendampingan kepada korban. Ia juga berharap kepada seluruh pihak agar menyensor foto dari kasus rudapaksa itu mengingat korban dan beberapa pelaku masih di bawah umur.
"Ada yang menyebarkan foto itu tanpa disensor sama sekali. Menurut saya itu tidak etis. Korban harus dilindungi," terangnya.
Dua Pelaku Masih Di Bawa Umur
Sementara Kanit IV Unit PPA Polres Buleleng Ipda I Ketut Yulio Saputra mengatakan, keempat pelaku telah diamankan pada Minggu 24 Desember 2023 malam.
Mereka masing-masing berinisial RM (20), PR (14), WM (14) dan AB (17).
Menurut Yulio, penangkapan ini dilakukan oleh sejumlah kelompok pemuda yang geram atas kejadian tersebut. Para pelaku nyaris dihakimi massa.
"Kelompok pemuda geram dengan kejadian ini setelah viral di sosial media. Mereka mencari para pelaku di rumahnya masing-masing. Sempat mau dihakimi massa, namun langsung kami amankan dan bawa ke Polres," terang Yulio.
Saat ini keempat pelaku masih dimintai keterangan di Polres Buleleng. Sementara korban akan dimintai keterangan dalam waktu dekat mengingat kondisinya masih trauma.
"Korban masih takut dimarahi oleh bapaknya. Saat kejadian korban memang sedikit dalam pengaruh alkohol. Kami akan segera jadwalkan pemeriksaan terhadap korban," lanjutnya.
Terpisah, Ketua P2TP2A Buleleng Riko Wibawa mengatakan, pihaknya akan memberikan pendampingan psikolog kepada korban dalam waktu dekat.
Baca juga: Didampingi Pekerja Sosial, Bapas Periksa Empat Tersangka Kasus Rudapaksa Siswi SD
"Kami sudah berkoordinasi dengan pihak kepolisian saat ini masih dalam tahap pemeriksaan dan dilakukan visum. Mulai Selasa atau Rabu kami akan memberikan pendampingan untuk korban, memulihkan psikisnya," kata Riko, Senin (25/12).
Riko tidak menampik kasus persetubuhan yang menimpa anak di bawah umur kerap terjadi di Buleleng. Hal ini salah satunya terjadi akibat dampak penggunaan ponsel. Anak-anak dapat dengan mudah mengakses informasi termasuk pornografi.
"Ini karena keterbukaan anak-anak kita dalam mengakses informasi sangat gampang. Mereka mencontoh atau melihat apa yang terjadi di media sosial. Mereka tidak peduli melakukan perbuatan yang seharusnya tidak dilakukan," katanya.
Berdasarkan data yang dihimpun Tribun Bali, selama 2023 ini sudah ada empat kasus persetubuhan yang menimpa anak di bawah umur yang ditangani oleh Polres Buleleng.
Kasus pertama dilakukan oleh seorang dukun cabul di Kecamatan Tejakula berinisial IKT (60).
Ia menyetubuhi pasiennya berinisial Ni Komang asal Kabupaten Bangli yang kala itu masih berusia 17 tahun hingga sebanyak enam kali. Korban disetubuhi sejak Desember 2022 lalu.
Kasus kedua menimpa bocah usia tujuh tahun asal Kecamatan Sawan. Ironisnya, bocah tersebut disetubuhi oleh kakek, paman, hingga tetangganya pada Agustus lalu hingga mengalami penyakit kelamin.
Kasus ketiga menimpa seorang siswi berusia 12 tahun asal Kecamatan Sukasada. Ia disetubuhi secara bergiliran oleh lima pria pada September lalu. Dari kelima pelaku itu, empat di antaranya masih dibawah umur dengan rentangan usia 14 hingga 16 tahun.
Dan keempat kasus terbaru yang menimpa siswi berusia 15 tahun asal Kecamatan Buleleng yang diduga disetubuhi secara bergiliran oleh empat pria hingga fotonya viral di sosial media.
Jembrana Tinggi
Selain di Buleleng, kasus kekerasan seksual terhadap anak juga marak terjadi di Kabupaten Jembrana. Bahkan, jika dilihat dari jumlah kasus yang terjadi tahun 2023, kondisi Jembrana sangat memprihatinkan dan mengkhawatirkan.
Kejaksaan Negeri Jembrana mencatat, selama tahun 2023 ini ada 16 kasus PPA khususnya kekerasan seksual. Angka ini tentunya tergolong tinggi. Hampir setiap bulan terjadi kasus yang menghancurkan masa depan korban ini.
Ini harus menjadi atensi serius berbagai pihak termasuk aparat penegak hukum. Juga para orangtua dan anak.
Menurut data yang diperoleh, dari 16 kasus yang tercatat didominasi oleh persetubuhan anak di bawah umur. Rinciannya, 12 kasus persetubuhan terhadap anak dan empat kasus pencabulan terhadap anak.
Rata-rata, ancaman hukuman minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun.
Kasus terakhir yang berhasil diungkap di Jembrana adalah seorang pria 51 tahun berinisial HRY yang mengaku sebagai orang spiritual kemudian menggagahi anak gadis berusia 14 tahun. Bahkan, korbannya saat ini hamil 30-an minggu.
Kasi Pidana Umum (Pidum) Kejari Jembrana, Delfi Trimariono, mengakui sangat miris dan prihatin dengan kondisi tersebut.
Setiap tahun, kasus yang melibatkan perempuan dan anak selalu meningkat. Sehingga, pihaknya lebih menekankan kepada seluruh elemen terutama pemerintah untuk lebih mengedepankan upaya preventif.
Baca juga: Ayah Setubuhi Anak di Jembrana Divonis 10 Tahun Penjara, Putusan Berkurang 5 Tahun dari Tuntutan JPU
Dalam beberapa kesempatan, pihak Kejari Jembrana juga kerap menjadi narasumber atau pemateri untuk memberikan pemahaman terkait hukum seperti terkait UU perlindungan anak, UU tindak pidana kekerasan seksual, UU nomor 21 tahun 2007 tentang TPPO (tindak pidana perdagangan orang), hingga UU pornografi juga.
Tujuannya agar masyarakat menjadi paham dengan apa yang terjadi di lapangan.
"Dalam beberapa kesempatan kami berpartisipasi untuk menyampaikan tentang penerangan hukum kepada masyarakat agar semakin paham," jelas Delfi, Senin (25/12).
Upaya preventif yang dilakukan seperti memberikan penyuluhan, menyediakan pelayanan pengaduan atau pelaporan hingga penyediaan rumah aman.
Layanan pengaduan ini menjadi penting karena selama ini korban juatru cenderung takut melapor dengan berbagai faktor.
Misalnya, masih ada hubungan darah dengan pelaku sehingga takut aib keluarga terbongkar, menerima ancaman atau intimidasi dan lainnya. Di sisi lain, hingga saat ini Kabupaten Jembrana belum memiliki rumah aman.
"Setiap daerah sebenarnya wajib punya rumah aman dan menyediakan layanan pelaporan atau pengaduan khusus dari masyarakat terkait PPA. Kami harap bisa segera direalisasikan," tegasnya.
Hukum Maksimal Pelaku
Sementara Kepala UPTD PPA Jembrana, Ida Ayu Sri Utami Dewi, berharap pelaku kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur bisa dituntut hukuman maksimal. “Karena bagi kami pelaku itu sudah merusak masa depan korban," tegasnya.
Sri Utami menegaskan, selain menimbulkan trauma berkepanjangan, masa lalu juga mengancam keberlangsungan hidup korban. Sebab, berkaca dari pengalaman sebelumnya, korban kekerasan seksual kadang ditolak oleh keluarga pasangannya karena mengetahui masa lalunya.
Yang lebih menyesakkan, apa yang terjadi pada korban tak diperhitungkan pelaku dan juga orang lain.
Terkadang, ada pelaku atau keluarganya yang dengan entengnya meminta maaf kepada korban serta keluarganya tanpa mempertimbangkan psikologis korban.
Baca juga: JPU Siapkan Berkas Dakwaan Kasus Rudapaksa Siswi SD di Buleleng, Segera Dilanjutkan ke Persidangan
"Kadang kami sangat geram ketika ada pelaku atau keluarga dengan entengnya meminta maaf. Kenapa mereka merasa gampang sekali?" ujarnya.
Hal tersebut juga diperparah ketika proses hukum kasus kekerasan seksual terhadap anak sudah selesai.
Proses hukum biasanya hanya sampai vonis hukuman pelaku. Namun, kondisi dan keadaan korban kedepannya tidak ada yang peduli.
"Kadang, begitu kasus sudah selesai, pelaku divonis hukuman, ya sudah (selesai). Tapi, korban gimana? Sudah malu, tersiksa batin, dikucilkan lingkungan, dan banyak lagi. Siapa yang peduli?" tanyanya.
Karena itu, ia berharap semua pihak bersama-sama mencegah dan menekan kasus kekerasan seksual terhadap anak. Mulai dari pendampingan korban, pengawasan terhadap pelaku, dan sebagainya.
(*)
(Tribun-Bali.com/Ratu Ayu Distri Desiana /I Made Prasetia Aryawan)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.